Utang BLBI Didiskon? Pemerintah Khianati Kepercayaan Rakyat !

author optikaid

- Pewarta

Rabu, 22 Sep 2021 18:45 WIB

Utang BLBI Didiskon? Pemerintah Khianati Kepercayaan Rakyat !

i

#BLBI - Optika: 2021, modifikasi berbagai bahan"

Optika, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD mengungkap ada obligor kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang memiliki utang Rp58 triliun, tetapi hanya ditagih 17 persen saja.

Adapula obligor yang hanya perlu membayar 30 persennya saja dari total utang. Dengan kata lain, obligor bisa membayar utang jauh lebih murah dari total kewajiban mereka.

Mahfud menyebut bahwa alasan pemerintah menagih utang ke obligor lebih murah dari total yang digelontorkan karena menyesuaikan dengan situasi krisis moneter 1998-1999.

"Mereka diberi pinjaman oleh negara, utang kepada negara, negara mengeluarkan obligasi, berutang ke BI, kemudian diberikan kepada mereka. Mereka membayar jauh lebih murah," ungkapnya dalam konferensi pers, Rabu (22/9/2021).

Jika dilihat dari kacamata awam, pemerintah seperti memberikan diskon kepada obligor BLBI. Jumlahnya pun tak main-main. Ambil contoh, obligor yang memiliki utang Rp58 triliun, hanya ditagih 17 persen saja, berarti dana yang harus dikembalikan ke negara cuma Rp9,86 triliun.

Obligor itu bisa menghemat dananya sekitar Rp48 triliun. Di sisi lain, pemerintah kehilangan dana yang seharusnya kembali ke kantong negara sebesar Rp48 triliun.

Meski demikian, pemerintah memastikan jumlah dana atau aset yang akan dikejar kepada obligor BLBI tetap sesuai target, yakni Rp110,45 triliun.

Angkanya tidak turun meskipun sebagian dana yang ditagih ke obligor di bawah jumlah yang digelontorkan saat krisis moneter 1998 silam.

Secara total, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Dana itu merupakan bantuan likuiditas yang dibiayai lewat surat utang negara (SUN).

Surat utang itu sampai sekarang masih digenggam oleh BI. Bantuan diberikan demi mengurangi beban pemilik bank pada masa krisis moneter 1997-1998.

Namun, baru sebagian kecil bank yang telah mengembalikan dana tersebut. Sisa dana yang harus kembali ke kantong negara Rp110,45 triliun ditambah bunga.

Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan proses penagihan ke obligor BLBI jelas mengecewakan rakyat. Sebab, dana yang ditagih cuma sebagian dari total utang obligor.

"Satgas panggil-panggil obligor dapat respons positif. Tetapi hanya sebagian kecil utang yang dilunasi atau ditagih, ini justru mencederai rasa keadilan bagi masyarakat," ujar Bhima Rabu (22/9/2021).

Terlebih, dana yang digunakan untuk menyelamatkan pemilik bank adalah uang rakyat. Uang itu berasal dari penerimaan pajak yang dibayarkan masyarakat setiap tahun. "Harusnya di situ kan ada uang pajak masyarakat. Uang pajak dibuat untuk menyelamatkan konglomerat," tutur Bhima.

Seharusnya, pemerintah mendapatkan 100 persen dana yang digelontorkan ke obligor BLBI beserta bunga selama lebih dari 20 tahun. "Dibutuhkan ketegasan pemerintah. Jangan ada ampun," terang Bhima.

Pemerintah memang tak seharusnya memberikan diskon kepada obligor BLBI. Apalagi, pemerintah sedang butuh banyak biaya untuk menangani pandemi covid-19.

Menurut Bhima, bila target Rp110,45 triliun saja bisa terkumpul, maka pemerintah sudah bisa mengumpulkan 29,4 persen dari total kewajiban bayar bunga utang tahun ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Kalau Rp110 triliun lumayan setara 29,4 persen dari total kewajiban bayar bunga utang pada 2021 yang sebesar Rp373 triliun," kata Bhima.

Apalagi, dana Rp110 triliun juga setara dengan 58,82 persen dari anggaran perlindungan sosial dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) pada tahun ini yang sebesar Rp187 triliun. "Kan uangnya bisa untuk membantu negara untuk belanja sosial yang mendesak. Harus ditagih sampai tuntas," tegas Bhima.

Ekonom ini menilai diskon utang BLBI yang ditagih pemerintah mencederai kepercayaan rakyat. Karena sumber dana itu berasal dari pajak masyarakat.

Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto mengatakan seharusnya tak perlu ada tawar-menawar atau diskon yang diberikan kepada obligor BLBI. Pemerintah berhak menagih seluruh dana yang pernah digelontorkan untuk 48 obligor beserta bunga.

"Utang itu adalah kewajiban. Artinya yang punya uang (negara) harus bisa minta itu. Kalau mereka (obligor) tidak bayar atau tawar menawar, maka akan terjadi ketidakpastian," ungkapnya.

Hal ini akan membuat publik menilai bahwa semua urusan dengan Pemerintah Indonesia bisa diselesaikan dengan tawar-menawar. Dampaknya, sebagian pihak akan 'menggampangkan' Pemerintah Indonesia.  

"Enak nih bisa tawar-menawar. Ini bukan soal angka, tapi terlihat dari proses ini bahwa wibawa pemerintah lemah," ucap Akhmad.

Ia juga menyayangkan pemerintah baru mengejar obligor BLBI sekarang. Andai saja dikejar sejak lama, maka uang yang kembali ke negara juga sudah banyak.

"Selama ini, pemerintah berbuat apa saja, kalau uang itu masuk dari dulu bisa diinvestasikan sehingga menghasilkan uang banyak, di bank sudah berapa itu. Sekarang, baru ditagih, masih diberikan keringanan pula," papar Akhmad.

Menurutnya, proses penagihan dana BLBI memberikan kesan buruk di mata masyarakat. Bukan hanya ketidakpastian, tapi proses ini juga berpotensi menimbulkan moral hazard (penyimpangan moral, red).

"Nanti buka moral hazard, pejabat bisa tawar-menawar, buka permainan-permainan. Oke turunkan angka, pejabat dapat imbalan. Harusnya utang tertulis sekian, bayar. Kalau tidak bayar masuk penjara," jelas Akhmad.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah transparan mengenai jumlah utang dan bunga masing-masing obligor. Kalau pun diberikan diskon, pemerintah harus transparan dan memberitahu publik secara rinci.

"Jangan sampai pemerintah dapat nih Rp110,45 triliun, senang. Tapi ternyata yang seharusnya kembali lebih dari itu, misalnya Rp200 triliun. Jadi jelaskan potensi dana yang sebenarnya harus balik itu berapa," tutup Akhmad.(Angga/Rizal)

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU