Tinggalkan Mobil di Tempat Bermasalah, Jadi Gaya Komunikasi Politik Gibran

author Seno

- Pewarta

Rabu, 10 Nov 2021 18:31 WIB

Tinggalkan Mobil di Tempat Bermasalah, Jadi Gaya Komunikasi Politik Gibran

i

images - 2021-11-10T112922.735

Optika.id - Tindakan Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka yang sering meninggalkan mobilnya di tempat bermasalah. Menjadi salah satu bentuk komunikasi politik tersendiri.

Sehingga terlihat berbeda dengan para politisi PDIP yang lain. Seperti Selasa (9/11/2021) kemarin, Gibran meninggalkan mobil dinas Toyota Innova Putih dengan nomor polisi AD 1 A Gibran di SD Negeri 113, Nusukan, seperti dilansir CNN. Tindakan itu, dilakukan Gibran setelah memergoki banyak guru dan murid di sekolah itu yang tak menggunakan masker saat kunjungannya.

Gibran juga pernah meninggalkan mobilnya di Kantor Kelurahan Gajahan beberapa waktu yang lalu setelah terjadi dugaan pungutan liar (pungli).

Lurah Gajahan disebut-sebut terseret dalam aksi pungli. Sebab, Petugas Linmas, yang melakukan pungli, menggunakan surat yang ditandatangani lurah untuk meminta dana jelang lebaran. Buntut persoalan itu, Gibran mencopot Lurah Gajahan, Suparno.

Menurut Pakar Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran, Kunto Aji Wibowo menyebut tindakan Gibran meninggalkan mobil di suatu tempat yang bermasalah sebagai satu bentuk high context communication.

Menurut Adi, dengan cara komunikasi seperti itu, Gibran tidak perlu melontarkan suatu pernyataan secara lisan. Namun, pihak yang bersangkutan akan mengerti bagaimana sikap Wali Kota akan masalah itu.

"Mas Gibran cukup memarkir mobilnya dengan itu dia sudah bilang bahwa saya tahu loh ada masalah di sini dan saya ada loh, hati-hati kamu. Gitu aja," kata Adi dalam keterangannya, Rabu (10/11/2021).

Menurut Adi, high context communication banyak dilakukan di negara timur seperti Jepang, China, dan Indonesia. Cirinya, dalam berkomunikasi orang berbasa basi, tidak to the point, dan sering menyindir.

Selain itu, melalui cara komunikasi semacam ini, menurut Adi, Gibran tengah menjaga wajah atau martabat pihak yang bersangkutan.

Dalam kasus masalah sekolah misalnya, Adi menduga jika Gibran memarahi langsung kepala sekolah maka akan terjadi resistensi atau perlawanan. Sebab, kepala sekolah itu merasa tidak dihormati.

"Dia menjaga face atau wajah atau martabat orang yang dia sindir tapi efektif untuk menyelesaikan masalah," tutur Adi.

Meski demikian, menurut Adi gaya komunikasi politik semacam ini memiliki kekurangan, yakni tidak terjadi dialog. Dalam kasus sekolah yang berencana menggelar simulasi PTM misalnya, tidak terjadi dialog untuk mencari solusi atas tidak diperbolehkannya pembelajaran itu.

Sementara dalam kasus pungli di Gajahan masih menjadi pertanyaan apakah tindakan Gibran tersebut berhasil menyentuh akar persoalan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Adi, semestinya Gibran menyelesaikan hingga akar masalah dan tidak hanya menutup gejala dari masalah yang terjadi.

"Jadi seharusnya menyelesaikan akar masalah tidak hanya menutup symptom. Kayak orang sakit dokter kalau cuma dikasih obat batuk obat demam tapi ternyata Covid. Harus ketahuan apa masalahnya dan itu dipecahkan," jelas Adi.

Adi menyebut tabiat Gibran meninggalkan mobil di tempat yang bermasalah ini menjadi gaya komunikasi yang bertolak belakang dengan Menteri Sosial Tri Rismaharini dan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang sering marah-marah.

Dengan gaya komunikasi simbolik semacam itu, Gibran memposisikan diri secara berbeda dari Risma dan Ahok. Gaya ini, kata Adi jua sangat efektif dalam membranding Gibran sebagai politisi baru.

"Dan dengan positioning itu orang akan lebih cepat, yang enggak marah-marah itu Mas Gibran tuh. Jadi menurut saya itu sangat efektif dalam positioning atau lebih tepatnya branding politik Mas Gibran," tambahnya.

Selain itu, dengan gaya komunikasi semacam ini, dalam konteks masyarakat Solo dan Jawa Tengah yang sangat sensitif dengan budaya, Gibran lebih dihormati ketimbang Risma dan Ahok yang marah-marah.

Namun, gaya komunikasi Gibran ini belum tentu efektif jika ia terapkan di daerah lain.

"Kalau Mas Gibran begitu di Sumatera misalnya, ya mungkin tidak efektif atau di daerah lain yang budayanya enggak seperti se-high context Solo atau Jogja," pungkasnya.

(Pahlevi)

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU