Teka-Teki Tewasnya Brigadir Joshua, Pembunuhan atau Pelecehan Seksual? Ini Analisa Mantan Kabais TNI

author Seno

- Pewarta

Selasa, 26 Jul 2022 02:02 WIB

Teka-Teki Tewasnya Brigadir Joshua, Pembunuhan atau Pelecehan Seksual? Ini Analisa Mantan Kabais TNI

i

images - 2022-07-25T185432.147

Optika.id - Teka-teki kasus tewasnya Brigadir Joshua atau Nopryansah Yosua Hutabarat di kediaman Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo menyedot perhatian masyarakat tanah air dan menimbulkan tanda tanya besar.

Termasuk kronologis kejadian yang menyisakan teka-teki, seperti yang diungkapkan tokoh intelijen yang juga mantan Kabais TNI (Kepala Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia) Laksdya TNI (Purn) Soleman B Ponto. Dia menyatakan alibi Irjen Ferdy Sambo yang katanya pergi PCR saat terjadi penembakan Brigadir J, itu malah membuka tabir sendiri, dan itu mudah mengoreknya.

Baca Juga: Mahfud Md: Isu Kerajaan Ferdy Sambo Hambat Penyelidikan Kasus Pembunuhan Brigadir Joshua

Dia mengacu pada penjelasan pihak polisi saat selepas kejadian, dibilang bahwa Kadiv Propam (saat itu) Irjen Ferdy Sambo tidak ada di rumah karena sedang pergi PCR.

Nah, kata Soleman, ini gampang sekali mengoreknya, tanya sopirnya, PCR-nya di mana? tempatnya di mana? benar tidak di situ jam sekian.

Selain itu, kalau perwira tinggi, kebiasaan yang ada tidak pergi ke rumah sakit, tempat PCR, malah petugasnya yang diminta datang ke jenderal.

Nah ini kan melanggar kebiasaan ini tadi, biasanya raja-raja seperti kadiv Propam rasa-rasanya kalau PCR, kalau PCR-nya dipanggil, kamu sini, aku periksa. Jaman aku kan Kabais begitu, mungkin beliau lain, ujar Soleman seperti dilansir poskota, Senin (25/7/2022).

Dia mengatakan, waktu dirinya menjadi Kabais TNI, waktu tes kesehatan itu tidak pergi ke rumah sakit, Malah tenaga kesehatan TNI diminta datang kepadanya.

Hayo, pergi ke sini kamu, aku punya darah ini, periksa, ungkapnya.

Soal perginya Irjen Ferdy Sambo ke tempat PCR itu justru menjadi melemahkan polisi, karena membuka peluang untuk bertanya-tanya. Kalau dicocokkan, lanjutnya, justru membuka tabir sendiri setelah dilakukan pengecekan.

"Lha kalau PCR kan, petugasnya datang, periksa ini. Lha PCR kan bisa saja panggil, ke sini. Tapi katanya pergi ke sana. Nah, ini kan buka tabir lagi, gampang, buka tabir sendiri namanya, ujarnya.

"Berarti Kadiv Propam ke sana ke tempat PCR, nah, di sana bersama siapa? Ada nggak di sana? Dengan siapa datangnya? Ajudan dua kok kenapa ditinggal, ada berapa ajudan. Lantas, kalau pergi kenapa ajudan ditinggal, kalau saya dulu ajudan ikut terus, lha kenapa ini ajudan dua kok ditinggal. Mungkin punya lebih dari tiga ajudan, saya nggak tahu. Nah ini menimbulkan narasi-narasi membuat masyrakat itu ramai, ini mau ke mana perginya? sambungnya.

Tarik Ulur Fakta dan Opini

Soleman juga menegaskan peristiwa tersebut hanya kasus biasa saja, yaitu kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Saudara E kepada saudara J.

Saya termasuk orang yang tidak percaya saat Kapolri bicara seperti itu, itu dagelan tingkat tinggi, semuanya adalah polisi. Si E ini sudah menembak si J, Pistolnya ada, pelurunya ada, dan ada orang mati, dan ada otopsinya, kenapa kita tidak bicara ini pembunuhan? telisiknya seperti dikutip Optika.id dari channel Youtube Medcom.id, Minggu (24/7/2022).

Dia bahkan, menambahkan bahwa fakta yang dilihat oleh seluruh dunia adalah saudara E membunuh saudara J, itu faktanya.

Fakta yang terlihat seluruh dunia , itu melihat sama bahwa saudara E membunuh saudara J, tegasnya.

Secara tegas dia berani mengatakan bahwa itu pembunuhan, berdasarkan fakta tersebut. Dan mendesak polisi agar jangan sekali-kali melindungi pembunuh.

Jangan sampai kepolisian melindungi para pembunuh, karena sudah ada orang mati, sudah ada visum, berarti ada pembunuh, katanya.

"Saya berani bilang ada pembunuh karena sudah ada orang mati dan sudah ada visum. Siapapun yang membunuh itu harus diungkit. Walaupun langit runtuh hukum harus ditegakkan. Siapapun pembunuhnya ini Polri tidak akan runtuh, Kalau Polri membuka kasus ini dengan sejelas-jelasnya, imbuhnya.

Lebih lanjut, dia mempersoalkan tentang Bharada E yang membunuh Brigadir J. Bharada E sampai saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka.

Sampai saat ini saudara E yang membunuh tidak ditetapkan sebagai tersangka dan tidak dimunculkan di publik, jelasnya.

Dia mendorong agar pihak kepolisian fokus pada kriminal pembunuhan yang dilakukan oleh Brigadir J. Sedangkan argumentasi Bharada E menembak Brigadir J, bisa dilakukan di persidangan. Sehingga itu menjadi fakta persidangan.

Kalau kita strict pada fakta, itu tidak lari ke mana-mana. Kalau nanti memang ada (kasus baru), nanti panggil dia (Kadiv Propam) di pengadilan, silahkan bicara. Itu namanya fakta di pengadilan. Fakta sekarang tidak sejauh itu," ujarnya.

Soleman juga memilah dengan tegas antara fakta dan opini dalam pandangan intelijen bahwa, "ada orang mati, ada senjata, ada peluru dan ada otopsi itu adalah Fakta. Mengapa? Semua orang tahu."

Sedangkan alasan Bharada E menembak Brigadir J itu adalah opini. Mengapa? Karena hanya pihak pelaku (Bharada E) saja yang mengetahui fakta itu, lainnya tidak.

"Saudara J ditembak oleh saudara E (Bharada E) karena pelecehan, hanya dia (saudara E) yang tahu dan hanya saudara E yang kasih tahu, tapi saya tidak tahu. Itu dalam Intelijen disebut opini, karena faktanya tidak ada, ungkapnya.

Logika Melompat

Dia merasa heran ketika faktanya adalah peristiwa pembunuhan tapi justru kesannya adalah peristiwa pelecehan. Dia menilai bahwa bergesernya isu dari fakta pembunuhan menjadi opini pelecehan adalah akibat dari logika yang melompat.

Baca Juga: Tak Hanya Timsus Kapolri, Perlu Ada Tim Independen Usut Motif Pembunuhan Brigadir J

Kenapa kok bisa menjadi begini (Kasus Tembak-Menembak antar Polisi) ? Ini aneh gak masuk di logika saya. Karena logikanya lompat-lompat, ungkapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sekali lagi dia menegaskan bahwa kasus ini termasuk kasus spesifik dan baru pertama kali. Karena seluruhnya adalah polisi.

Kasus ini sangat spesifik dan terjadi pertama kali karena Polisi menembak Polisi, di rumah Polisi, ditangkap Polisi, dan diumumkan Polisi. Ini belum jelas tiba-tiba Kapolri ngomong seperti itu, jelasnya.

Sehingga, lanjutnya, seharusnya kasus yang berkembang adalah pembunuhan. Sehingga keterkaitannya adalah tentang pembunuhnya dan yang dibunuh.

Sebetulnya untuk kasus ini polisi sudah punya organ-organ yang menangani itu, gak perlu bentuk tim lain. Itu ingin menunjukkan kelurusan, malah jadi bengkok, tuturnya.

Opini Dahului Fakta

Opini yang berkembang adalah terkesan pada pelecehan, bukan pembunuhan.

Kalau saudara E ini membela diri dengan menembak saudara J itu opini, itu kan menurut seseorang, faktanya kan belum ada, tegasnya.

Kronologi yang berdasarkan opini ini, itu nanti ceritakan di pengadilan, ungkapnya. Bahkan dia memastikan bahwa, penembakan Bharada E kepada saudara Brigadir J tergolong pembelaan diri yang berlebihan.

Dia memberi gambaran di pengadilan, bahwa, "nanti di pengadilan kan ditanya? kenapa kamu nembak? Karena ada pelecehan, dia suaminya itu. Nah baru diberhentikan. Itu baru nyambung."

Pistol Glock 17

Sebelumnya, pada rilis yang diumumkan oleh pihak kepolisian, bahwa senjata yang dipakai oleh Bharada E adalah jenis Glock-17 buatan Austria kaliber 9×19 mm dengan jumlah peluru sebanyak 17 butir.

Menurut Soleman senjata yang digunakan oleh Bharada E lazimnya digunakan untuk para jenderal-jenderal, bukan kelas tamtama. Bahkan di BAIS sendiri hanya dirinya yang memegang senjata jenis tersebut yang lainnya tidak.

Glock-17 itu senjatanya raja-raja itu, kalau di BAIS itu hanya saya yang pegang Glok-17, tegasnya.

Baca Juga: Sampaikan Permohonan Maaf, Pengacara Brigadir J Minta Sambo Tak Bohong Lagi

lt;p>Dia juga menambahkan kalau senjata jenis Glock -17 itu merupakan senjata yang dipakai untuk tempur bukan senjata untuk pengawalan. Bisanya dipegang oleh pasukan khusus dari Marinir.

Kalau yang menggunakan Glock-17 itu dipakai oleh marinir, dan termasuk senjata tempur bukan senjata pengawalan. Itupun pasukan-pasukan khusus yang punya. Kalau ajudan itu, terikat oleh aturan dasar. Pun sebagai KABAIS itu tidak bisa melanggar aturan dasar itu. Kalau dia senjatanya hanya FN ya sudah pake itu, nggak bisa saya tingkatkan, bebernya.

Kalau saya tingkatkan (senjata bawahannya), saya melanggar aturan yang berada di atasnya. Pengawal yang di rumah-rumah KSAL aja menggunakan revolver, imbuhnya.

Dia bercerita tentang pengalamannya saat menjabat sebagai Kepala BAIS tentang masuknya senjata tempur tersebut.

Saya punya pengalaman menahan masuk senjata 5,6 itu standart militer. Sehingga ketika senjata ini jatuh ketangan orang lain (yang bukan militer) maka akan menjadi ancaman militer bagi militer, katanya.

"Jadi misalnya Polisi memakai Glock 5.6 yang 9mm itu, itu akan menjadi masalah! Maka saya dulu saat menjabat, jangan sampai ada orang yang pegang Glock-17. Karena kalau kita tidak bisa mengamankan, maka itu akan menjadi lawan kita juga. Dan ketika pengamanannya tidak sama dengan pengamanan militer, maka akan menjadi ancaman militer dan itu akan berhadapan dengan militer, sambungnya dengan nada meninggi.

Soleman pun berpesan, "jangan sampai ada orang yang salah dilindungi, dan orang yang tidak salah dikorbankan. Kalau itu diterapkan paling tidak separuh ketidakpercayaan publik akan hilang."

Dia mengatakan bahwa, sangat berbahaya jika logikanya lompat-lompat.

Ini bahaya, kalau logikanya lompat-lompat, karena kalau itu terjadi yang membunuh suaminya. Yang punya pistol raja-raja itu para Jenderal, yang punya emosi tertinggi pendamping terdekat. Kalau kita mau bermain-main dengan logika ya, paparnya.

Sehingga dia berupaya untuk meredam lompatan logika tersebut. Makanya saya berupaya, jangan sekali-sekali bermain logika lompat-lompat dan bermain-main dengan opini. Lebih jauh lagi kita akan menghukum orang itu sebelum proses pengadilan, coba jawab apa yang membuat seorang laki-laki mata gelap, itu apa? Makanya kita kecilkan aja dulu. Kita singkirkan dulu opini-opini itu dulu. Kita kembali pada fakta pembunuhan, pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU