Surya Paloh, Nasdem, dan Restorasi terhadap Rezim Jokowi

author Seno

- Pewarta

Rabu, 29 Jun 2022 17:12 WIB

Surya Paloh, Nasdem, dan Restorasi terhadap Rezim Jokowi

i

images - 2022-06-29T100735.793

Optika.id. Surabaya. Surya Paloh (SP), Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem (Ketum Nasdem), melakukan langkah politik berbeda dengan semua partai politik (parpol) koalisi pemerintah. Bahkan berbeda dengan keinginan Istana: menominasikan Anies Rasyid Baswedan (ARB) menjadi salah satu kandidat presiden dalam pemilu 2024 dari Partai Nasdem. Secara transparan hasil Rakernas Partai Nasdem di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat (17/6/2022) menominasikan 3 orang tokoh sebagai bakal calon presiden yaitu ARB, Ganjar Pranowo, dan Andika Perkasa.

Hasil Rakernas Nasdem itu tampaknya ditindaklanjuti SP dengan cara yang cerdas. Bahkan SP lakukan improvisasi dengan mengusulkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang duet Anies-Ganjar. Padahal belum ada Ketum partai manapun berani mengusulkan ARB sebagai bakal calon presiden maupun wakil presiden kepada Jokowi untuk pilpres 2024. Bahkan banyak Ketum parpol membuat berbagai koalisi parpol yang dibaca masyarakat sebagai koalisi aneh atau Hersubeno Arief menyebut sebagai koalisi kawin paksa. Semua itu dilakukan ketum parpol koalisi rezim Jokowi, konon diduga, untuk mengeliminasi ARB jadi bakal capres 2024.

Baca Juga: Surya Paloh Lakukan Komunikasi dengan Anies untuk Pencalonan Gubernur DKI Jakarta

Dari gestur politik para ketum parpol koalisi rezim selalu menghindar menyebut nama ARB. Termasuk Zulkifli Hasan, Ketum DPP PAN, yang secara hipotetis, merupakan captive (pemilih) ARB. Bahkan diantara mereka dengan tanpa malu-malu mengusulkan presiden 3 periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Sementara itu SP dengan tegas menentang presiden 3 periode dan perpanjangan masa jabatan presiden. Dengan lugas Paloh katakan kalau berani, ya lakukan referendum untuk mengubah Undang Undang Dasar 1945 agar presiden bisa 3 periode. Tanyakan kepada rakyat Indonesia (Podcast Karni Ilyas Club, 23 Juni 2022). SP akui Jokowi masih terbaik, tetapi tentang presiden 3 periode dan perpanjangan masa jabatan presiden ditentangnya dengan tegas.

"Pak Surya Paloh sudah beberapa kali menyampaikan itu, bahwa pilpres dua kali membuat perpecahan polarisasi begitu dalam dan nyata. Itu tidak bisa kita pungkiri dan kita tidak bisa tutup mata dengan akses daripada pemilu yang terjadi dua kali terakhir ini," kata Ahmad Ali, SE, anggota DPR RI dari Nasdem, saat dihubungi suara.com, Senin (27/6/2022).

SP menganggap duet Anies-Ganjar adalah solusi bangsa agar tidak terjadi perpecahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya seperti akibat pilpres 2014 dan 2019. Yang menarik SP tak hanya melontarkan duet Anies-Ganjar atau Ganjar-Anies, bahkan secara spontan lontarkan duet Anies-Puan. Memang ada wacana duet Anies-puan, tapi itu konon gerilya politik JK (Jusuf Kalla). Wacana duet Anies-Puan pernah kencang beritanya, tetapi belum pernah ada yang berani melontarkan ke permukaan, apalagi setingkat Ketum parpol koalisi rezim.

Paloh dengan enteng melontarkan duet Anies-Puan kepada Presiden Jokowi sebagai pasangan pada pilpres 2024. Meskipun Istana tidak merespon, termasuk pihak PDIP, keberanian SP menarik sekali. Saat ini SP sebagai salah seorang Ketum parpol koalisi rezim Jokowi yang paling independen. Artinya dia bisa kemukakan gagasan dan ide genuinenya secara bebas. Semua itu tak dipunyai Ketum parpol koalisi rezim Jokowi lainnya.

Memecahkan Kebekuan Politik

Sejak rezim Jokowi menguasai sekitar 84 persen kekuatan di DPR RI nyaris tidak ada geliat oposisi. Secara institusional di DPR tinggal PD (Partai Demokrat) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang berdiri sebagai oposisi sehingga DPR tumbuh sebagai kekuatan yang memproduksi ideologi hegemoni rezim Jokowi (istilah Gramsci). DPR dalam konsep civil society telah terpuruk seperti jaman Orde Baru. Sebagai stempel rezim. Menjadi sub-ordinasi rezim. Apalagi setelah PAN menjadi bagian koalisi rezim Jokowi dan bahkan Zulhas menjadi Menteri Perdagangan semakin terkontrol partai ini dari pusat hingga ke daerah (bawah).

Tatanan politik yang tersentral dan otoritarian itulah menyebabkan rezim Jokowi dengan bebas membuat policy apa saja. Semua hal yang diproduksi rezim tidak ada yang kuat untuk menghentikannya. Mulai dari yang remeh temeh, seperti memasukkan banyak orang yang tidak kapabel (pemain musik) sebagai komisaris dalam BUMN. Menangkap dan menahan tokoh-tokoh yang dianggap kritis sampai dengan produksi aturan hukum yang jelas-jelas bersubstansi sentralistis dan otoritarian. Dan bahkan membuat policy yang menyulitkan masyarakat pun tidak ada kekuatan yang berarti untuk menghentikannya. Seperti pembelian minyak goreng curah dengan aplikasi Peduli Lindungi dan membeli pertalite dengan aplikasi Pertamina. Bahkan dibarengi dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang memberatkan rakyat.

Sistem politik yang dingin dan kakuh seperti itu tiba-tiba muncul akrobat politik SP yang terasa bebas dan cair. Istilah SP tentang keberagaman bakal capres adalah tidak boleh ada monopoli kekuasaan Dengan gayanya yang khas, ekspresif, SP muncul sebagai bintang politik yang berakrobat di tengah-tengah kebekuan politik akibat otoritarian. Arah SP jelas untuk demokrasi dan Nasdem ke depan: transformasi kekuasaan dari Jokowi ke SP.

Parpol Berdatangan

Manuver SP yang bebas itu menyebabkan partai-partai besar datang ke Nasdem, seperti PD, Gerindra, PKS, dan hanya PDIP saja yang belum. Menurut SP ini awal saling menjajagi. Kalau ada chemistry bisa saling koalisi. Yang kita cari kesamaan. Bukan perbedaan, urainya dalam acara podcast Karni Ilyas Club, Kamis, 23 Juni 2022.

Menurut SP saat ini yang dicari adalah memilih pemimpin negara. Bukan memeilih pemimpin partai. Pemimpin itu hrs syarat dengan kenegarawanan. Sementara itu Nasdem belum punya kualifikasi untuk pemimpin tersebut. Mungkin akan datang. Sekarang belum. Karena itu Nasdem sendiri tidak mengajukan kadernya sebagai bakal calon, baik capres maupun cawapres, kata SP.

Baca Juga: Anies Ngaku Belum Lebaran dengan Cak Imin, Jadwal Padat?

Belakangan koalisi parpol, di luar rezim, untuk mengusung bakal calon presiden semakin mengerucut. Kamis, 23 Juni 2022, JK berkunjung ke kediaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) di Cikeas. JK dikenal sebagai tokoh yang mengarsiteki dan memback up ARB menjadi bakal capres pemilu 2024. JKlah yang mencoba menerobos skat politik: untuk menduetkan ARB dengan Puan Maharani. Wacana itu sempat ramai. Tetapi setelah pidato Megawati dalam Rakernas II PDIP wacana tersebut merdup. Kini tampaknya JK memperkuat formasi Anies sebagai bakal capres dari Nasdem: dengan siapa pun, termasuk dengan AHY sebagai cawapresnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada hari itu juga AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), Ketum DPP PD, menemui SP di jalan Gondangdia, kantor Partai Nasdem. Komunikasi politik antara Nasdem dan PD semakin intensif dan di sisi lain antara Nasdem dan PKS sudah semakin rapat. Jika koalisi Nasdem, PD, dan PKS mengental maka tiket untuk mengusung ARB sudah bisa memenuhi presidential threshold 20 persen. Nasdem 59 kursi (9,05%), PD 54 kursi (7,77%), dan PKS 50 kursi (8,21%).

Secara politis koalisi PD dan PKS sangat rasional sebab mereka oposisi. Semula parpol yang bisa mengusung ARB adalah PD, PKS, dan PAN. Setelah PAN memilih bagian dari rezim Jokowi dan Zulhas menjadi menterinya Jokowi maka habislah tiket ARB untuk maju sebagai bakal capres. Di sini makna politik jangan ada monopoli kekuasaan yang diucapkan SP merupakan langkah berani dan cerdas Nasdem dengan SPnya.

Efek Elektabilitas Anies

Di sisi lain jika Nasdem mengusung ARB sebagai capres bersama PD dan PKS maka sangat potensial terjadi Anies effect untuk Nasdem seperti pilpres 2014 muncul Jokowis effect bagi PDIP. Secara elektabilitas Nasdem akan diuntungkan dari efek Anies daripada mengusung Ganjar Pranowo. Sebab jika mengusung Ganjar yang bakal memperoleh efek elektabilitasnya adalah PDIP. Bukan Nasdem.

Di sisi lain jika mengusung Anika Perkasa sebagai capres maka sangat kecil muncul efek elektabilitas Andika Perkasa terhadap Nasdem. Elektabilitas Andika Perkasa masih rendah dan belum punya efek fenomenal. Jika Nasdem, PD, dan PKS sepakat mengusung duet Anies-Andika Perkasa justru efek elektabilitas untuk Nasdem sangat besar sekali. Karena Nasdem memimpin imaje politik dan pemilu alternatif. Di sini makna akrobatik politik SP jika menuntaskan mengusung ARB sebagai capres 2024.

Nasdem Tidak Ingin Didekte

Baca Juga: NasDem Tegaskan Pertemuan Paloh dengan Prabowo Tak Ada Pembahasan Menteri

Menurut Rocky Gerung tindakan SP dinilai punya pikiran jauh ke depan. Nasdem memberi sinyal ke Jokowi bahwa Nasdem sebagai partai yang tidak ingin didekte, podcast FNN, Sabtu, 18 Juni 2022.

Diakui oleh Gerung bahwa di Nasdem ada faksi tapi SP bisa manaje dengan baik. Angkat topi terhadap Surya Paloh, kata Gerung

SP faham Istana dan dia nekat karena itu tidak ada menterinya yang dicopot. Watak yang gigih SP ingin katakan kami partai tidak ingin didekte, urainya.

SP dinilai Gerung menyentil monopoli kekuasaan. Nasdem tidak selalu membebek survei. Gerung nilai Nasdem ingin dicatat sebagai orang yang faham benar apa itu restorasi. Nasdem selalu restorasi. Nasdem lagi bagus-bagusnya. Mereka ingin 2024 sebagai tokoh yang tidak didekte kekuasaan, urainya dalam podcast tersebut.

Tulisan: Aribowo

Editor: Amrizal Ananda Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU