Skeptisisme Menilai Desentralisasi 20 Tahun Pasca Reformasi

author Jenik Mauliddina

- Pewarta

Kamis, 16 Des 2021 17:06 WIB

Skeptisisme Menilai Desentralisasi 20 Tahun Pasca Reformasi

i

Skeptisisme Menilai Desentralisasi 20 Tahun Pasca Reformasi

Optika.id - Fenomena 'Lokalisasi Kekuasaan' mendapatkan perhatian sejumlah akademisi dan praktisi setelah Otonomi daerah mengijak umurnya yang ke 20 Tahun. 

Terhitung tepat 1 Januari 2001, kebijakan Desentralisasi resmi kembali dijalankan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dikemudian hari direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 

Baca Juga: Oposisi Memang Berat Mas AHY, Demokrat Takkan Kuat, Biar Rakyat Saja

Salah satunya datang dari Airlangga Pribadi, PhD. Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga tersebut mengatakan, perubahan sistem dari Sentralisasi ke Desentralisasi tidak merubah politik relasi yang terbawa dari Orde baru.

"Optimisme yang timbul pada awal adanya desentralisasi dengan harapan partisipasi publik yang lebih besar kepada pemerintahan, Good Government. Kenyataannya akan kalah dengan politik relasi yang merambah ke tingakat lokal. Karena bagaimanapun politik itu tentang kekuasaan, power," Ujarnya saat menjadi Penanggap webinar Peluncuran Buku 'Lokalisasi Kekuasaan Pasca Otoritarianisme di Indonesia' Rabu, (15/12/2021).

Menurnya, Penerjemah buku yang ditulis oleh Prof. Vedi R. Hadiz pada tahun 2010 ini masih relevan dengan fenomena lokalisasi kekuasaan yang sedang terjadi di Indonesia. Dimana kelembagaan dikuasai elit politik relasi. Penggambaran Good Government yang di framing seolah-olah itu sudah menjalankan partisipasi publik di dalamnya.

"Yang dilihatnya katanya Good Government itu, seperti Rumah yang diperlihatkan Teras dan Ruang Tamunya saja. Tapi kita tidak diperlihatkan dapurnya dan toiletnya yang di sana terjadi transaksi politik, penjarahan dan lain sebagainya," Jelasnya.

Prof. Vedi R. Hadiz dari University of Melbourne menjelaskan bahwa buku yang ia tulis dari penelitian dari 2004-2008 ini merupakan bentuk mengimplementasikan Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia dan skeptisisme dirinyanya terhadap perubahan kekuasaan dari pusat ke lokal.

"Ketika gegap gempita menyambut desentralisasi dulu. Saya berkata dalam hati ada yang tidak benar dengan Desentralisasi ini. Karena walaupun ada yang berubah dari instansinya. Bukan berarti dominasi kekuasaan akan berhenti, Namun mengadaptasi ke tingkat lokal," ucapnya.

Baca Juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional

Ia juga menambahkan, dengan perubahan kekuasaan kepada lokal maka kekuasaan juga akan dikuasai oleh elit politik lokal disana. Sementara relasi politik juga akan beradaptasi ke tingkat lokal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Kaum marjinal Seperti buruh, petani, dan perempuan tetap akan menjadi kaum yang terpinggirkan dengan adanya relasi politik di good government itu," katanya.

Sementara itu, Wahyu Djafar dari ELSAM yang juga menjadi penanggap di acara yang digagas ARC Universitas Indonesia ini, Menangkap adanya rekonsolidasi dinasti politik baru di tingkat lokal. Setelah dinasti politik di orde baru tumbang, sebab kini sumber daya elit politik berasal dari elit politik di tingkat lokal.

Acara webinar dan peluncuran buku lokalisasi kekuasaan yang digelar Asia Research Culture Universitas Indonesia bersama bersama Kurawal Foundation, ELSAM dan KPG.

Baca Juga: Berikut Keketatan dan Daya Tampung Prodi Soshum UNAIR

Reporter: Jeni Maulidina

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU