Reshuffle Kabinet Untuk Politik Identitas?

author optika

- Pewarta

Minggu, 24 Okt 2021 17:30 WIB

Reshuffle Kabinet Untuk Politik Identitas?

i

Optika: 2021, modifikasi berbagai bahan

Optika.id, Surabaya - Wasisto Raharjo Jati, peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), lewat artikelnya berjudul The Situation of Declining Indonesian Democracy in 2021, The Insights, No. 27/09 Juni 2021) menyatakan adanya penurunan demokrasi di era rezim Joko Widodo (Jokowi).

Penurunan demokrasi itu disebabkan oleh 3 hal yaitu (1) meningkatnya peran TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam urusan sipil, (2) perpecahan ideologi, utamanya makin mengerasnya konflik antara kelompok Islam dan nasionalisme. Faktor (3) adalah semakin kuat dan besarnya peran politik dinasti.

Baca Juga: Jimly Ungkap MK Bisa Batalkan Pemilu Jika Memang Salah

Sejak Jokowi menjadi presiden frekuensi keterlibatan TNI dalam masalah sosial dan politik semakin luas. Meskipun tidak seluas era rezim Soeharto, ada fenomena kuat TNI untuk terlibat kembali ke dalam masalah sosial dan politik, urai Jati.

Sebenarnya ada fenomena lain yang jauh lebih kuat dan masif adalah peranan polisi dalam masalah sosial dan politik. Mereka tidak hanya berperan dalam bidang hukum (penegakan hukum), namun semakin jauh bergerak dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.

Sosiolog M. Najib Azca, dari Fisip Universitas Gadjah Mada, mencatat kuatnya police state. Kuatnya peran polisi dalam kekuasaan Jokowi sehingga muncul gejala transformasi dari rule of law menjadi rule through law. Menggunakan istilah John Keane yang berarti hukum digunakan sebagai instrumen kekuasaan (John Keane.2020.The New Despotisme. London: Harvard University Press)

Faktor kedua semakin menguatnya fragmentasi ideologi Islam dan nasionalisme. Sejak Jokowi berkompetisi dalam pilgub (pemilu gubernur) 2012 konflik antara kelompok Islam dan nasionalisme itu menguat. Hal itu berlangsung terus hingga pilgub DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta 2017.

Begitu juga polarisasi tersebut meruncing dalam pilpres (pemilihan presiden) 2014 dan 2019. Sebenarnya Jokowi sudah berusaha untuk menetralisir polarisasi itu tetapi menurut Dr Abdul Aziz, dosen Fisip Universitas Brawijaya, belum berhasil hingga saat ini, tulisnya lewat WhatsApp kepada Optika.id, Minggu (24/10/2021).

Jokowi berhasil merekrut kekuatan Islam Ahlusunnah Waljamaah (NU), tetapi belum mengambil Islam modern dan perkotaan. Bahkan Islam populisme belum tersentuh sekali, urai Aziz.

Bahkan ada kecenderungan Jokowi semakin memperkuat koalisi nasionalisme. Hal itu berarti tidak menyerap kekuatan Islam modern dan populisme, namun mengambil posisi berhadapan dengan kekuatan Islam non NU (Nahdlatul Ulamah), tegas Aziz.

Reshuffle kabinet Jokowi akan datang tampaknya mengambil langkah semakin memperkuat koalisi nasionalisme daripada menyerap kekuatan Islam modern, Bahkan ditariknya PAN dalam koalisi Pemerintah justru pengucilan kekuatan Islam tersebut, urai Aziz lebih detail.

Konflik politik identitas tampaknya terus berkembang dan berbagai pihak belum tampak untuk mengurangi, apalagi menghilangkan, politik identitas. Elite kekuasaan dan oposisi justru semakin asyik main politik identitas tersebut, kesimpulan Aziz.

Reshuffle karena Kebutuhan Jokowi

Menurut Refly Harun dalam kanal Youtube Refly Harun, Senin 18/10/2021, reshuffle cabinet akan datang  berdasarkan kebutuhan dasar dari kekuasaan Jokowi. Ada 3 kebutuhan dasar reshuffle yaitu Jokowi: 1, ingin memastikan legacy (warisan) yang baik. Sebagai presiden Jokowi ingin meninggalkan warisan yang baik untuk bangsa Indonesia.

Kedua Jokowi ingin memastikan keamanan solid dan kuat sebelum 2024 dan pasca 2024. Sebagai presiden pasti Jokowi ingin pemilu aman dan sukses, namun lebih dari itu semua harus ada penerus kekuasaan yang menjamin Jokowi pasca 2024. Ada wilayah yang ngeri-ngeri sedap yang harus diamankan.

Ketiga Jokowi ingin pemilu sukses dengan perspektif politik seperti saat ini. Hal ini penting agar penerus kekuasaan bisa berkesinambungan dengan model rezim sekarang. Menurut Refly Harun hal tersebut berkait dengan persiapan pengisian jabatan Plt (Pelaksana Tugas) gubernur, bupati, dan walikota yang bakal habis Tahun 2022.

Isu pergantian Mendagri Tito Karnavian oleh Tjahjo Kumolo, menurut Refly Harun, berkait dengan hal tersebut. Isunya Tito dan Tjahjo Kumolo bertukar tempat: Tito digeser ke Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Tjahjo Kumolo menjadi Menteri Dalam Negeri.

Dari sisi ini, yaitu kebutuhan pemilu 2024, kata Refly Harun, maka Jokowi perlu Panglima TNI yang usia kedinasan panjang hingga 2024 dan Plt gubernur, bupati, dan walikota yang jumlahnya sekitar 270an bisa mendukung garis politiknya.

Hal ini sangat penting karena berkait dengan Plt Gubernur dan Bupati/Walikota setelah 2022. Untuk menuju pemilu 2024. Panglima TNI dan Kapolri harus panjang usia kedinasannya agar bisa mengamankan Jokowi pasca 2024. Sebab Refly menduga ada yang ngeri-ngeri sedap yang harus diamankan.

Baca Juga: Yusril Buktikan Sengketa Pilpres AMIN Hanya Asumsi, Bukan Bukti

Beragam Alasan Reshuffle

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kalau disimak sejarah reshuffle kabinet sejak rezim reformasi tampak beragam. Presiden saat melakukan reshuffle (perombakan/pergantian) disebabkan oleh kasus khusus sehingga pergantian dilakukan secara kasuistis, seperti ada menteri yang wafat atau terkena kasus korupsi. Reshufflenya seperti pergantian PAW (pergantian antar waktu).

Reshuffle juga dilakukan karena posisi Menteri tertentu digeser atau diganti oleh Menteri lainnya. Semacam tukar tempat. Ada juga yang menterinya tidak dikehendaki oleh presiden sehingga harus diganti secara kasuistis atau perorangan. Kasus ini banyak terjadi di jaman Presiden Gus Dur.

Reshuffle juga sering kali dilakukan presiden karena kebutuhan perombakan kabinet agar kinerja pemerintahannya bisa berjalan dan berfungsi dengan baik. Biasanya perombakan seperti ini dilakukan presiden dengan cara mengganti banyak atau beberapa Menteri sekaligus. Apa pun perombakan kabinet merupakan kebutuhan dan keinginan presiden.

Pemerintahan Abdurachman Wahid (Gus Dur) menjabat 2 tahun sebagai presiden telah melakukan pergantian 12 orang menteri.

Penyebab reshuffle kabinetnya Gus Dur antara lain: (1) Wiranto dianggap penghalang reformasi TNI dan diduga terlibat pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di Timor Timur. Kedua, Yusuf Kalla dan Sukardi diduga terlibat korupsi, dan ketiga SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menolak perintah Presiden Gus Dur karena itu harus diganti.

(lihat grafis di bawah ini)

Saat rezim SBY periode 2004-2009) melakukan 11 kali pergantian menteri. SBY melakukan reshuffle karena Mendagri M. Maruf dan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono terganggu kesehatannya. Alasan kedua, SBY melakukan reshuffle karena kerja sama menterinya dinilai kurang bisa kerja sama dengan baik. Ketiga, reshuffle dilakukan karena kebutuhan dukungan dari partai politik non koalisi agar dukungan terhadap Pemerintahan SBY lebih kuat.

Baca Juga: PKS Usai KPU Memutuskan Hasil, Pertandingan Belum Selesai!

Pada masa periode SBY kedua, 2009-2014, terjadi 9 kali reshuffle atau pergantian menteri. Penyebab reshuffle adalah: (1) ada penilaian atas kinerja Menteri tidak memuaskan, kedua (2) beberapa Menteri terjerat kasus korupsi, dan ketiga Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih wafat karena itu harus diganti. Lihat grafis di bawah ini.

Era Presiden Jokowi tercatat sangat banyak Menteri yang diganti. Diperiode 2014-2019 ada sekitar 25 orang Menteri diganti, digeser, dan dikeluarkan. Memang awal Pemerintahan Jokowi tampak masih belum padu dan belum bisa memenuhi kebutuhan Jokowi. Lihat grafis di bawah ini.

Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU