Refleksi Hari TNI, 5 Oktober 2021 Mengkritisi Wacana Dwi Fungsi TNI/Polri

author optikaid

- Pewarta

Selasa, 12 Okt 2021 23:05 WIB

Refleksi Hari TNI, 5 Oktober 2021 Mengkritisi Wacana Dwi Fungsi TNI/Polri

i

sumber tribun

Salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998 adalah penghapusan dwi fungsi ABRI (TNI/Polri). Dalam alam demokrasi, TNI dan Polri harus dikembalikan dan ditempatkan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Namun, ketika dwi fungsi TNI/Polri sudah dihapus, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menghidupkan kembali Dwi Fungsi dengan model yang lain. Berdasarkan Undang-Undang N0. 2 Tahun 2002, Polri adalah lembaga yang memiliki fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Politik TNI/Polri adalah politik negara, bukan politik kekuasaan. Keduanya adalah alat negara, bukan alat politik. Karena itu, TNI/Polri harus menjaga jati dirinya sebagai institusi yang netral, tidak bermain-main politik dan tidak dilibatkan secara masif dalam sistem pemerintahan dan birokrasi sipil, kecuali mengundurkan diri atau pensiun..

Diskursus tentang militer (TNI/Polri) dan politik mengingatkan kita pada analisis Samuel Huntington dalam The Soldier and State (New York, 1957) yang menyatakan bahwa proses demokratisasi akan tegak dalam suatu negara apabila kekuatan militer termasuk Polri- ditempatkan sebagai alat negara bukan alat kekuasaan, artinya TNI/Polri harus keluar dari kepentingan-kepentingan politik kekuasaan. Jika TNI/Polri masuk politik atau menjadi alat politik kekuasaan, maka akan merusak tatanan demokrasi.

 Dwi Fungsi TNI/Polri

Kini peran ganda TNI/Polri (aktif), baik sebagai alat negara dan sebagai alat  politik-kekuasaan kembali mengemuka. Menjelang Pemilu 2024, ada wacana penggunaan TNI/Polri (aktif) untuk mengisi jabatan-jabatan sipil menjelang Pemilu 2024. Pakar otonomi daerah Djohermansyah mengemukakan, dalam dua tahun ke depan, total akan ada 24 provinsi yang akan mengalami kekosongan kepala daerah definitif. Pada tahun 2022 ada tujuh provinsi dan tahun 2023 ada 17 provinsi. Sementara di tingkat kabupaten/kota, akan ada 247 kabupaten/kota yang mengalami kekosongan jabatan.  Jabatan kosong tersebut akan diisi oleh anggota TNI/Polri (Jawa Pos, 28/9/2021).

Penggunaan jasa TNI/Polri dalam jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan, bukan sekali ini saja terjadi di era Jokowi. Sebelumnya, pada Pilkada serentak 2018, Kementerian Dalam Negeri juga melakukan hal yang sama, yakni penunjukan dua Pati Polri untuk menjadi pelaksana tugas (Plt) gubernur. Saat ini, mantan Sekjen PDI-P, Cahyo Kumolo, mengajukan dua Perwira Polisi berbintang dua kepada Presiden Jokowi untuk dijadikan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) gubernur di Pilkada Serentak 2018, yakni, Asop Irjen Pol. M. Irawan untuk Plt di Jawa Barat dan Kadiv Propram Polri Irjen Pol. Martuani Sormin untuk Sumatera Barat. Penunjukkan dua Pati Polri tersebut tinggal menunggu keputusan dari Presiden Jokowi. Meskipun dikritik publik, tapi tetap jalan terus.

Pada 2020, Kementrian BUMN juga menggunakan jasa TNI/Polri. Berdasarkan data yang pernah dirilis lembaga Ombudsman, sedikitnya ada 13 polisi aktif dan pensiunan polisi menduduki jabatan komisaris BUMN, seperti PT. Pertamina, PT. Bukti Asam, dan PT. Pelndo. Lebih lanjut, Ombudsman menyatakan ada sekitar 397 komisaris BUMN yang merangkap jabatan, dan 12 dari mereka adalah perwira polisi dan TNI. menurut Erick Adapun pertimbangan BUMN menggunakan jasa Polri dan TNI adalah untuk menangani koflik tanah dan perizinan yang tumpang tindih.

Secara yuridis-normatif, jika anggota TNI/Polri mau menduduki jabatan politik (seperti kepala daerah) atau birokasi sipil, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau pensiun dari jabatannya (TNI/Polri). Untuk TNI, dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang 34 tahun 2004 tentang TNI, secara tegas menyebutkan, Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipilsetelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara untuk Polri, pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 tentang Kepolisian Negara RI, menyebutkan bahwa Anggota Kepolisian Negara RI dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri dari atau pensiun dari dinas kepolisian. Karena itu, penunjukkan dan penggunaan Pati TNI/Polri daam jabatan sipil melanggar undang-undang, kecuali kalau diakali dengan argumen kepentingan politik kekuasaan subjektif.

Catatan Kritis

Ada beberapa catatan kritis terkait dengan penggunaan dan penempatan petinggi TNI/Polri  aktif di birokasi sipil. Pertama, kebijakan ini menodai semangat reformasi 1998 dan demokrasi. Spirit dan tuntutan reformasi 1998 adalah menempatkan dan memperlakukan militer (TNI/Polri secara proporsional. Sistem demokrasi harus memperlakukan militer sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan. Kedua, kementerian dalam negeri sepertinya tidak percaya diri dengan SDM sipil/internal yang dimiliki. Selain itu, kebijakan ini akan merusak tatanan jenjang karir di internal birokrasi. Keempat, semakin banyak militer (TNI/Polri) dalam jabatan birorkasi sipil akan berpotensi melahirkan sistem pemerintahan yang berwajah militeristik. Kelima, penggunaan dan penempatan TNI/Polri di jabatan sipil akan berpotesi melahirkan pendekatan sucurity dalam menyelesaikan masalah. Jika orientasi pendekatan security lebih dikedepankan, maka akan berpotensi melahirkan praktek kekerasan. Salah satu misalnya penempatan petinggi Polri di BUMN karena alasan menghadapi kasus-kasus agraria. Penggunaan jasa perwira polisi di lembaga BUMN akan semakin memperuncing konflik agraria dan kekerasan, dengan masyarakat bawah sebagai korbannya. Keenam, secara ekonomik (finansial) akan membebani anggaran negara. Seorang Pati TNI/Polri aktif yang menduduki jabatan komisaris BUMN, akan berpotensi mendapatkan salary ganda, baik dia sebagai TNI/Polri maupun sebagai komisaris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

            Kebijakan penempatan anggota polisi (dan TNI) aktif dalam jabatan sipil tersebut, sama saja pemerintah menarik-narik kembali militer (TNI/Polri) dalam kubangan politik. Meskinpun pemerintah menegaskan dengan berbusa-busa bahwa penunjukkan ini tidak akan berpengaruh terhadap netralitas TNI/Polri dan sudah sesuai dengan aturan hukum. Namun demikian, ucapan berbusa-busa tersebut sulit dipercaya, TNI/Polri akan bersikap netral dalam birokrasi sipil. Baik secara hukum, poltik, dan etika (demokrasi), tidak pantas personil TNI/Polri aktif menduduki jabatan struktural birokrasi sipil.

Baik secara yuridis maupun politis, kebijakan pemerintah tersebut bermasalah dan berpotensi akan semakin menimbulkan kegaduhan sosial-politik, apalagi ketika berurusan dengan konflik agraria. Kebijakan tersebut hanya akan memberikan karpet merah bagi TNI/Polri untuk bermain politik atau melahirkan dwi fungsi TNI/Polri dengan model baru. Dan ini adalah sebuah kemunduran dan pengkhianatan terhadap reformasi dan demokrasi. Karena itu, agar tidak menimbulkan kemurdhorotan politik yang lebih besar, sebaiknya wacana kebijakan dwi fungsi TNI/Polri tersebut untuk ditinjau ulang atau dibatalkan.

Oleh : Umar Sholahudin

Dosen Sosiologi Politik FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya, Pengurus Hmpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Jatim

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU