Salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998 adalah penghapusan dwi fungsi ABRI (TNI/Polri). Dalam alam demokrasi, TNI dan Polri harus dikembalikan dan ditempatkan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Namun, ketika dwi fungsi TNI/Polri sudah dihapus, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menghidupkan kembali Dwi Fungsi dengan model yang lain. Berdasarkan Undang-Undang N0. 2 Tahun 2002, Polri adalah lembaga yang memiliki fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Politik TNI/Polri adalah politik negara, bukan politik kekuasaan. Keduanya adalah alat negara, bukan alat politik. Karena itu, TNI/Polri harus menjaga jati dirinya sebagai institusi yang netral, tidak bermain-main politik dan tidak dilibatkan secara masif dalam sistem pemerintahan dan birokrasi sipil, kecuali mengundurkan diri atau pensiun..
Diskursus tentang militer (TNI/Polri) dan politik mengingatkan kita pada analisis Samuel Huntington dalam The Soldier and State (New York, 1957) yang menyatakan bahwa proses demokratisasi akan tegak dalam suatu negara apabila kekuatan militer –termasuk Polri- ditempatkan sebagai alat negara bukan alat kekuasaan, artinya TNI/Polri harus keluar dari kepentingan-kepentingan politik kekuasaan. Jika TNI/Polri masuk politik atau menjadi alat politik kekuasaan, maka akan merusak tatanan demokrasi.