Quo Vadis PKS? ke Mana Lagi Kalau Tidak ke Anies, Partai Demokrat dan NasDem?

author Seno

- Pewarta

Senin, 07 Nov 2022 17:26 WIB

Quo Vadis PKS? ke Mana Lagi Kalau Tidak ke Anies, Partai Demokrat dan NasDem?

i

images (51)

Optika.id - Politik jegal menjegal, mengkriminalisasi lawan politik, dan politik dagang sapi makin menguat. Ada isu, dugaan, dan fenomena politik jegal lawan agar tidak bisa maju menjadi bacapres (bakal calon presiden) 2024.

Tujuannya agar tidak ada lawan politik yang bisa maju menjadi bacapres sehingga semua bacapres adalah orang-orangnya sendiri. Politik jegal itu dilakukan melalui politik dagang sapi, pembelian parpol atau jabatan, dan langkah akhir dengan cara kriminalisasi lawan politik. Dicari-cari kesalahan hukumnya lalu ditetapkan sebagai tersangka.

Baca Juga: Muhammad Iqbal Protes Pramuka Dihapus, Tak Sesuai Visi Misi Indonesia 2045

Isu teranyar adalah tawaran pengusaha batu bara kepada PKS (Partai Keadilan Sejahtera) berupa uang besar sekali dan tawaran 2 kursi menteri di saat reshuffle kabinet nanti. Tujuannya agar Anies Rasyid Baswedan (ARB) tidak bisa maju sebagai bacapres dan Partai NasDem gagal membentuk koalisi (PKS, Partai Demokrat, dan Partai NasDem) untuk mengusung ARB sebagai bacapres 2024.

Isu itu dilemparkan oleh Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) lewat twitternya. Cuitan itu mengutip akun @maspiyuaja yang mencantumkan link berita berjudul "Beredar Kabar PKS Ditawari 2 Menteri, Untuk Gagalkan Koalisi Anies?" di samping itu juga ditulis ada kabar lain yaitu "Dan kabar lain juga, bahwa salah satu pengusaha batu bara sudah 'ditugaskan' memberikan dana besar agar menarik dukungan," tulis @msaid_didu.

Isu politik dagang sapi itu juga diuraikan oleh salah seorang politisi dari tim gabungan dari PKS, PD, dan NasDem bahwa upaya untuk menjegal ARB memang benar. Dia tidak mau disebutkan Namanya namun membenarkan adanya tawaran tersebut.

Juru Bicara PKS Muhammad Kholid mengatakan bahwa narasi Said Didu bertujuan mengganggu pembentukan koalisi yang tengah dijajaki NasDem dan Partai Demokrat.

PKS Menolak

Juru Bicara PKS Muhammad Kholid menegaskan ini bukan kali pertama PKS menerima tawaran semacam itu. Ia pun mengaku PKS telah terbiasa menerima berbagai tawaran, termasuk jatah menteri di kabinet. Khalid menceritakan PKS pernah mendapat tawaran masuk ke dalam pemerintahan pada periode pertama dan awal periode kedua Presiden Joko Widodo.

"Saya kira hal biasa aja ya, tawaran-tawaran seperti itu. Dulu pas periode pertama dan awal periode kedua kami juga ditawari. Tapi kami Alhamdulilah konsisten memilih di luar pemerintahan," ujarnya dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (27/10/2022).

PKS bersikukuh pada hasil Musyawarah Majelis Syuro (MMS) yang menjadi keputusan tertinggi di internal PKS. Kholid mengatakan PKS tetap memilih sebagai partai oposisi.

"Faktualnya kami tetap sebagai oposisi. Keputusan MMS tetap di luar pemerintahan. Ada atau pun tidak ada tawaran, keputusan MMS VII mengikat semua [bagi] pimpinan dan anggota bahwa PKS tetap di luar pemerintahan," tegasnya.

Tentang koalisi dengan PD dan NasDem, Kholid menguraikan sudah mencapai kesepakatan 90 persen. Dia berujar baik PKS maupun Demokrat dan NasDem masih sama-sama mencari titik temu untuk berkoalisi. Dia pun meyakini bakal ada kesepakatan antara ketiga partai.

Menurut Kholid, rencana Koalisi Perubahan itu masih sedang membahas kriteria sosok cawapres bagi Anies. Selain itu, ketiganya juga membahas mekanimse pengambilan keputusan. Dia memastikan ketiga partai akan bersepakat untuk berkoalisi jika mekanisme pengambilan keputusan tersebut telah disepakati.

Kholid optimis bahwa proses komunikasi PKS, NasDem, dan Demokrat saat ini berjalan kondusif dan guyub. Dia mengklaim proses komunikasi tersebut sudah mencapai 90 persen untuk berkoalisi, CNNIndonesia.com, Ahad (6/10/2022).

Di sisi lain, politisi NasDem, Willy Aditya, emosional merasakan fenomena ini. Ketua DPP Partai Nasdem itu curiga ada pihak yang mencoba menjegal Anies agar tidak maju ke Pilpres 2024. Aditya menganggap hal ini sebagai fenomena kotor.

Baca Juga: NasDem Tegaskan Pertemuan Paloh dengan Prabowo Tak Ada Pembahasan Menteri

"Kenapa politik kita hari ini dianggap bejat, dianggap kotor, dianggap suram? Narasi-narasi ini mendegradasi, mendegradasi dua ranah. Teman-teman catat ini, mendegradasi PKS, mendegradasi kekuasaan hari ini. You can imagine, kalau narasi ini dikembangkan," kata Aditya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (1/11/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemilih PKS Tidak ke Mana-Mana

Perolehan suara parpol dalam pemilu 2019 Partai NasDem memperoleh 59 kursi (12.661.792=9,05%), PD 54 kursi (10.876.057=7,77%), dan PKS, 50 kursi (11.493.663=8,21%).

Artinya Koalisi Perubahan yang mengusung ARB harus menyertakan PKS dan PD. Tanpa PKS atau PD maka NasDem bakal gagal mengusung ARB. Dalam posisi seperti ini maka baik NasDem atau PKS atau PD sama-sama penting: saling membutuhkan satu sama lainnya.

Di sisi lain captive pemilih PKS adalah masyarakat Islam, utamanya masyarakat Islam modern. Captive PKS itulah yang mendukung dan memilih capres Prabowo-Sandiaga Uno dalam pilpres 2019. Beberapa isu terakhir, andai PKS mau menerima tawaran uang gede pengusaha batu bara dan 2 kursi di kabinet maka sangat besar kemungkinan PKS bakal bergabung ke koalisi Gerindra-PKB (Partai kebangkitan Bangsa). Persoalannya adalah apakah itu karakter politik PKS?

PKS sangat tunduk kepada keputusan Musyawarah Majelis Syuro (MMS) yang menempatkan PKS sebagai oposisi hingga 2024. Lebih dari itu captive pemilih PKS sebagian besar susah untuk memilih Prabowo kembali setelah dia menjadi Menteri Pertahanan kabinetnya Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pengamat politik dari Fisip Universitas Airlangga, Ali Sahab, S.IP, MS, menganggap PKS mempunyai karakter politik sendiri. Menurut Sahab jika PKS memilih bergabung dengan kabinet Jokowi sama dengan bergerak menjauhi pemilih PKS, urainya kepada Optika.id lewat WhatsApp, Senin (7/11/2022).

Pemilih Islam Prabowo dalam pilpres 2019 adalah komunitas yang tidak mau memilih Jokowi dan yang ada hanya Prabowo. Bukan karena pemilih sosiologis, ideologis, atau captive seperti pemilih PKS sendiri, kata Sahab. Bagi PKS hal itu jauh lebih penting dan esensial dibandingkan menerima tawaran pragmatis. Dari sini agak susah membayangkan PKS bergabung dengan rezim Jokowi atau masuk koalisi Gerindra-PKB.

Baca Juga: PKS Usai KPU Memutuskan Hasil, Pertandingan Belum Selesai!

PKS juga susah bergabung dengan KIB (Koalisi Indonesia Bersatu). Di sana ada PAN (Partai Amanat Nasional) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dimana captive pemilihnya hamper sama. Lebih dari itu koalisi ini dicitrakan banyak orang sebagai koalisinya Istana yang bakal mengusung Ganjar Pranowo, keterangan Sahab.

Dalam konstelasi pemilihan presiden 2024 tampaknya PKS tidak akan kemana-mana. Jika cawapres yang muncul Prabowo, Ganjar Pranowo, ARB, dan Puan Maharani maka captive pemilih PKS tidak akan kemana-mana hanyalah ke ARB.

Tidak berlebihan pernyataan Khalid tentang partainya.

"Saya kira hal biasa aja ya, tawaran-tawaran seperti itu. Dulu pas periode pertama dan awal periode kedua kami juga ditawari. Tapi kami Alhamdulilah konsisten memilih di luar pemerintahan," katanya.

Tulisan Aribowo

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU