Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tak Kunjung Selesai, Kenapa ya?

author Seno

- Pewarta

Sabtu, 02 Jul 2022 21:12 WIB

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tak Kunjung Selesai, Kenapa ya?

i

images - 2022-07-02T135706.937

Optika.id - Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung diumumkan Pemerintah pada bulan Juli tahun 2015, yakni pada waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama. Proyek kerja sama pemerintah dengan China tersebut digadang-gadang menjadi yang pertama di Asia Tenggara.

Pada awalnya, proyek yang menelan biaya sekitar Rp72 triliun ini ditargetkan selesai pada tahun 2018 dan mulai beroperasi pada tahun 2019. Faktanya, sampai hari ini, Sabtu (2/7/2022) proyek kereta cepat masih belum rampung.

Baca Juga: Siapa Bayar Jerat Utang dalam Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung

Ironisnya, ada kabar pembengkakan biaya dan akan memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu melontarkan kritiknya terkait pembengkakan fantastis proyek kereta api cepat itu. Dia bahkan menyebut proyek itu punya masalah besar.

Peningkatan biaya yang seakan tanpa batas menunjukkan ada masalah besar di proyek ini dan seharusnya ada yang bertanggung jawab, kata Said Didu seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Sabtu (2/7/2022).

Biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) bengkak hingga USD1,176 miliar atau setara Rp16,8 triliun. Nilai ini pun lebih kecil dari perkiraan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.

Juru Bicara BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Eri Satriana mengatakan, nilai cost overrun tersebut adalah hasil review berdasarkan permintaan Kementerian BUMN. Proses review dilakukan sejak Desember 2021 lalu.

BPKP diminta Kementerian BUMN untuk melakukan review kereta cepat mulai akhir Desember 2021 lalu. "Angkanya sebesar USD1,176 miliar atau setara Rp 16,8 triliun," ungkap Eri, Rabu (29/6/2022).

Adapun metode yang digunakan BPKP dalam perhitungan cost overrun dengan melakukan review dokumen atas asersi yang disampaikan Kementerian BUMN melalui wawancara dan pengamatan yang dilakukan di lapangan.

Untuk penghitungannya sendiri, BPKP hanya melakukan cost overrun untuk biaya pembangunan saja, sedangkan biaya operasional setelah kereta cepat beroperasi nantinya tidak termasuk dalam biaya cost overrun.

Eri menegaskan angka pembengkakan tersebut merupakan budget estimasi dan masih ada beberapa yang proses, sehingga memungkinkan ada perubahan, termasuk jika ada aturan baru yg keluar setelah selesainya review cost overrun oleh BPKP.

BPKP, lanjut Eri, tidak mengelak bahwa ada potensi penambahan cost overrun KCJB sebesar Rp2,3 triliun. Pembengkakan ini berasal dari pajak dan pengadaan lahan.

"Pajak tersebut merupakan bukti baru, setelah selesai review BPKP karena ada peraturan perpajakan baru dan belum masuk dalam asersi," tuturnya.

Hal berbeda dikatakan PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC). KCIC menyebut pembengkakan biaya atau cost overrun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) adalah 1,675 miliar dolar AS atau sekitar Rp24 triliun. PT KAI dikabarkan kembali meminta dana segar hingga mencapai Rp4,1 triliun.

Hasil pengkajian perusahaan itu lebih rendah dari hasil perhitungan awal sebelumnya yakni 2,8 miliar dolar AS.

Dirut PT KCIC Dwiyana Slamet mengatakan, angka cost overrun untuk terus diminimalkan, seperti permintaan Kementerian BUMN dan Komite Kereta Cepat.

Angka cost overrun hasil kajian PT KCIC akan di sampaikan kepada dua lembaga tersebut.

Hingga saat ini, Kementerian Perhubungan belum mendapatkan hasil kajian ulangnya.

"Kita tunggu saja (hasil review BPKP). Nanti akan diserahkan ke komite yang dipimpin Pak Luhut. Nanti akan dibahas, kata Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Zulfikri, beberapa waktu yang lalu.

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT KCIC Rahardian Ratry mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penambahan biaya, yakni pengadaan lahan.

Selain itu, ada situasi-situasi yang tidak terduga seperti kondisi geologi di tunnel 2.

Memang proses pengadaan lahan cukup memakan waktu dan tak terhindarkan. Tanah-tanah yang akan dibebaskan juga mengalami kenaikan harga. Akibatnya, ada penambahan biaya pengadaan lahan dari nilai awal, ujarnya.

Bertambahnya biaya pengerjaan proyek kereta api cepat itu, kata Rahardian, karena terpaan pandemi Covid-19.

Upaya-upaya penanganan Covid-19 sebelumnya tidak dianggarkan. Selain pandemi, produktivitas SDM (Sumber Daya Manusia) KCJB sempat berkurang karena adanya pengetatan-pengetatan aktivitas yang dilakukan.

"Ini tentu menjadi salah satu obstacle dan menjadi salah satu faktor penambahan biaya, katanya.

Di balik bertambahnya biaya, Rahardian optimistis ada peluang bisnis yang harus dicapai melalui pembangunan KCJB saat ini.

Target pasar KCJB adalah untuk pengguna melakukan perjalanan rutin dengan frekuensi pergerakannya tinggi dari dan/atau ke Jakarta-Bandung.

Baca Juga: Sejarah Panjang Kereta Cepat Whoosh, Digagas di Era SBY dan Diresmikan Jokowi

Saat ini, dilakukan upaya-upaya percepatan pembangunan menjelang pengoperasian pada akhir 2022. Terowong an 2 yang berlokasi di Jatiluhur, Purwakarta sudah tembus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Pencapaian ini menggenapi 13 terowongan yang ada di trase KCJB. Seluruh tunnel di proyek KCJB sudah berhasil ditembus, katanya.

Tak Gunakan APBN

Sebelumnya, Presiden Jokowi berkomitmen tak menggunakan APBN sedikit pun, melainkan dari investasi. Bahkan, ia menyebut lebih baik membangun kereta api di Papua, Sulawesi, dan Kalimantan apabila pemerintah menggunakan APBN.

"Kereta cepat itu tidak memakan uang APBN, tapi dari investasi. Kalau itu uang APBN, Rp60-70 triliun, ya saya pakai saja bikin kereta api di Papua, Sulawesi, dan Kalimantan. Tapi ini dari investor, ya silakan, asalkan tidak menganggu anggaran APBN, kata Jokowi pada saat itu.

China pada awalnya mematok biaya 5,1 miliar dolar AS. Namun, anggaran proyek itu terus bertambah 6,2 miliar dolar AS.

Anggaran meningkat lagi menjadi 8,6 miliar dolar AS. Anggaran itu menjadi polemik karena posisi keuangan Indonesia yang mulai ketat.

Anggaran untuk kereta cepat Jakarta-Bandung kembali membengkak dengan penambahan hingga 1,9 miliar dolar AS atau sekira Rp27,2 triliun.

Punya Ketidakpastian Tinggi 

Sementara itu, Dosen Universitas Padjadjaran Sulaeman Rahman Nidar mengatakan, proyek pembangunan KCJB merupakan yang pertama di Indonesia. Investasi yang pertama kali dilakukan umumnya mempunyai ketidakpastian tinggi.

Selain itu, proyek itu pun melibatkan konsorsium atau banyak pihak sehingga kemungkinan banyak gangguan yang menyebabkan keterlambatan yang kemudian menimbulkan biaya, katanya.

Dia menilai, bisa jadi, konsorsium kurang tepat dalam perencanaan karena proyek baru di Indonesia, maka diskon faktornya tinggi. Artinya risiko terjadi keterlambatan tinggi karena tidak ada pembandingnya.

Ada Deviasi 

Baca Juga: Luhut Ngaku Gagal Negosiasi Bunga Utang Proyek Kereta Cepat

Selain itu, Kepala BUMN Center Unpad Prof. Yudi Azis mengatakan, dari segi proyek, adanya perbedaan antara perencanaan dengan realisasi merupa kan hal yang lumrah, istilahnya deviasi.

Meski tidak ada pakem besar deviasi, tetapi kalau meleset, angka di kisaran 10-20 persen masih wajar.

"Deviasi wajar, tapi kalau sudah berkali lipat berarti ada masalah diperencanaan, maka ada masalah mendasar. Bisa jadi asumsi atau estimasinya tidak benar. Harus diteliti juga, apakah feasibility study tidak bagus sehingga melenceng besar, misalnya bikin tower salah lokasi kemudian pasang lagi, katanya.

elain itu, ada estimasi waktu. Umumnya terjadi bottle neck yang tidak jelas yang menyebabkan tahap berikutnya tidak bisa dilaksanakan.

"Jika mengingat proyek tersebut merupakan proyek resmi pemerintah, seharusnya sudah jelas sejak awal. Jika tidak, tidak menutup kemungkinan kualitas perencanaan awal tidak matang, katanya.

Yudi mengemukakan, sebenarnya dari sisi penugasan kepada BUMN dan peluang transportasi, pembangunan infrastruktur tersebut baik.

Apalagi mobilitas Jakarta-Bandung yang tinggi merupakan pasar yang besar. Hanya, dengan biaya yang membengkak, return of investment akan menjadi lebih lama.

Ditambah lagi, pada awalnya, pembangunan proyek tersebut tidak menggunakan APBN, dengan kata lain, bisnis secara penuh.

"Kalau sekarang ada campuran APBN dan besar, hal itu akan membebani negara. Dicek dulu urgensinya apa sampai membebani negara. Kalau swasta, business to business its okay, katanya. Yudi menekankan, perlunya mengembalikan proyek pembangunan tersebut sesuai skema awal, yakni tanpa negara membiayai.

Alasannya, infrastruktur tersebut tidak vital atau dengan kata lain jika tidak tersedia ekonomi akan terhambat.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU