Pro Kontra RUU Omnibus Law Kesehatan, IDI Menolak PDSI Sebut RUU Lindungi Tenaga Medis

author angga kurnia putra

- Pewarta

Rabu, 30 Nov 2022 15:50 WIB

Pro Kontra RUU Omnibus Law Kesehatan, IDI Menolak PDSI Sebut RUU Lindungi Tenaga Medis

i

Screenshot_20221130-072437_UC Browser

Optika.id- RUU (Rancangan Undang-Undang) Omnibus Law Kesehatan menjadi ramai akhir akhir ini, hal ini tak lepas dari berbagai hal. Dari urgensi, marginalisasi, hingga tidak dilibatkannya organisasi profesi yang memayungi bidang kesehatan dalam penyusunan RUU tersebut.

Seperti yang dikutip dari Jurnal dokter Iqbal Muchtar (untuk Kompas 18 Oktober 2022) Pengurus PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Ketua IDI Timur Tengah. Mempermasalahkan siapa penyusun RUU tersebut juga akhirnya dipertanyakan oleh sebab itu bisa dikatakan RUU tersebut seperti "siluman".

Baca Juga: Kondom Masih Dianggap Tabu, Kemenkes: Sudah Terdaftar, Penting Buat Tekan HIV!

"Hingga kini, belum ada konfirmasi siapa pembuat draf RUU ini; apakah DPR, Kemenkes atau stakeholder lain. Namun Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi mengungkapkan bahwa mereka sementara menyusun RUU yang ujung-ujungnya akan menjadi undang-undang (UU) Kesehatan".

Ia mengungkapkan mungkin adanya RUU omnibus Law untuk merampingkan peraturan kebijakan yang terkesan tumpang tindih, tapi pada faktanya sampai saat ini belum ada ribut ribut yang disebabkan oleh tumpang tindihnya peraturan.

"UU omnibus bertujuan menggabungkan, merampingkan dan mengatasi tumpang tindih regulasi," lanjutnya.

"Selama ini juga belum terdengar ribut-ribut terkait kontradiksi antar UU. Artinya, elemen kompleksitas, heterogenitas dan kontradiksi yang menjadi substansi pembuatan UU omnibus tidak jelas," tegasnya menganulir pernyataan sebelumnya.

Dia juga mengkritisi peleburan UU yang akan dilebur ada beberapa yang memiliki usia singkat, dan sebenarnya sudah eksis di jalankan, dan masih berusaha mengimplementasikan kenapa tiba tiba dihapus.

"Sebagian UU kesehatan yang akan dilebur usianya masih singkat. UU Keperawatan dan UU Tenaga Kesehatan disahkan tahun 2014; sedangkan UU Karantina Kesehatan dan UU Kebidanan masing-masing disahkan tahun 2018 dan 2019."

"Mengimplementasikan aturan-aturan ini, termasuk melakukan sosialisasi intensif dan pembuatan aturan turunan. Dalam kondisi demikian, mengapa tiba-tiba UU yang eksis ini ingin dihapus dan diganti dengan yang baru?" tukasnya.

Ia menjelaskan harusnya organisasi profesi juga harus dilibatkan, hal ini juga untuk melindungi masyarakat dan harus memenuhi berbagai Asas.

"Selain itu, keterlibatan masyarakat dan organisasi profesi harus dijalin erat dalam pembuatan UU. Partisipasi sudah harus dibangun bahkan ketika usulan inisiasi baru muncul. Pembentukan UU mesti memenuhi sejumlah azas, diantaranya kejelasan tujuan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. Bila azas ini tidak terpenuhi, RUU akan menjadi cacat dan berpotensi mandek di tengah jalan," tutupnya.

Dukungan dari PDSI Kontra dengan Organisasi Kesehatan Lainnya 

Jika organisasi kesehatan lainnya menolak adanya Omnibus Law kesehatan beda halnya dengan organisasi Persatuan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI). Dalam pernyataan resminya Sekretaris PDSI dr Erfen Gustiawan Suwangtopada, Selasa (29/11/2022), menyatakan bahwa dengan adanya RUU Omnibus law kesehatan makan para tenaga kesehatan akan lebih dilindungi. 

Hal ini berkaitan dengan pungutan yang marak terjadi saat dokter atau tenaga kesehatan mengurus STR (surat tanda registrasi) karena umumnya saat saat pengurusan STR itulah yang menjadi masalah saat para dokter dan tenaga kesehatan mengurus.

Maka dari itu dalam RUU omnibus law inilah para dokter dan Nakes mendapatkan transparansi dan tidak membebani para dokter dan nakes.

Baca Juga: Selain Melindungi dari Paparan Sinar Matahari, Apa Saja Manfaat Sunscreen?

"Surat Tanda Registrasi (STR) akan berlaku seumur hidup dan gratis dan mengurus via online. Saat ini STR harus diperpanjang 5 tahun sekali dan menimbulkan biaya mahal untuk dokter dan nakes," kata Erfen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Surat Izin Praktik (SIP) tetap 5 tahun, namun tanpa kewajiban dokter harus mencari rekomendasi dari organisasi profesi dan lain-lain sehingga SIP dapat diterbitkan tanpa keluar biaya-biaya untuk seminar dan lain-lain dan dilakukan sepenuhnya via online agar transparan," ucap Erfen.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa aturan di RUU Omnibus Law melindungi para calon dokter spesialis supaya tidak dirundung oleh para seniornya. Dalam RUU juga menjelaskan poin dimana memberikan perlindungan terhadap dokter dari kriminalisasi dengan cara memperkuat fungsi konsil kedokteran Indonesia sebagai lembaga pengawas etik dan disiplin.

 "Terakhir, dokter yang mengambil program spesialis akan dipermudah dan digaji melalui pendidikan spesialis berbasis rumah sakit," ucap Erfen.

Pendapat Tenaga Medis Secara Umum

Ketika Optika.id menghubungi seorang dokter, dr Nurlatifah yang bertugas di salah satu puskesmas di Yogyakarta pada Rabu (30/11/2022). Ia cenderung menyatakan tidak setuju dengan adanya RUU ini di beberapa poin salah satunya tentang transparansi penyusunan RUU ini dipertanyakan karena tidak melibatkan organisasi profesi terkait.

"Gini lho,yang saya tangkap kenapa tiba tiba ada RUU, yang menyusun siapapun tidak jelas, tidak terbuka, bahkan organisasi profesi pun tidak dilibatkan," ujarnya.

Baca Juga: Komitmen Pengendalian Tembakau Masing-Masing Capres Dipertanyakan

Dia menjelaskan dalam aturan organisasi profesi sendiri pun tidak ada yang namanya double standar. Dan tumpang tindih semua dilakukan juga ada kredit poinnya masing masing agar kualitas para dokter tetap terjaga.

"Yang mana dalam organisasi profesinya ya 1 (IDI, red) saja, yang ngurus etika profesionalisme dan sebagainya masih dalam organisasi itu, tidak ada double standar. Contoh saja, kami untuk izin praktek saja harus ada rekomendasi dari IDI setempat, mengumpulkan poin dari IDI juga dan diperbarui sekian tahun,hal ini untuk apa? Untuk menjaga kualitas dokter dengan memberikan update keilmuan setiap tahun," tegasnya.

Dia juga mempermasalahkan masalah STR, dia menganggap masalah STR seumur hidup itu sangat berisiko untuk pasien sendiri. Dan ia mempermasalahkan pembatasan peran organisasi profesi yang sangat dibatasi karena RUU tersebut.

"Kita harus menghindari resiko untuk sang pasien juga kan, cuma bagian ini juga mau di cut (STR), peran organisasi profesi makin minim, bahkan katanya izin prakteknya tidak perlu diperbarui lagi, dan menurut saya itu sangat tidak menguntungkan untuk pasien, karena kualitas para dokter kan harus dijaga," tutupnya.

Reporter: Angga Kurnia Putra

Editor: Pahlevi 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU