PKB Ingin Presidential Threshold Jadi 5-10 persen

author Seno

- Pewarta

Selasa, 28 Des 2021 00:24 WIB

PKB Ingin Presidential Threshold Jadi 5-10 persen

i

images - 2021-12-27T172002.834

Optika.id - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menginginkan angka Presidential Threshold (PT) diturunkan.

Melalui, Wakil Ketua Umum DPP PKB , Jazilul Fawaid, PKB menilai penurunan ambang batas presidential threshold (PT) dapat mencegah terjadinya politik identitas. Dia mengusulkan PT diturunkan menjadi 5-10 persen. Dia pun mengajak partai politik lainnya untuk menyuarakan revisi terbatas UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, khususnya terkait besaran PT.

Baca Juga: Mahfud Lepas Jabatan, TKN Ingin Prabowo Tetap Jadi Menhan

"Jika presidential threshold diturunkan, itu memungkinkan tercegahnya politik identitas dan munculnya calon-calon yang diturunkan. Tapi (revisi UU Pemilu) terbatas pada presidential threshold, jangan juga kepada parliamentary threshold," ujarnya beberapa waktu yang lalu.

Jazilul menilai penurunan PT, selain mencegah politik identitas dan polarisasi seperti yang terjadi pada Pemilu 2019, dapat membuat pilihan publik semakin beragam sehingga lebih kompetitif.

Menurutnya, melihat solidnya koalisi parpol saat ini, jika dikehendaki bersama maka revisi terbatas UU Pemilu sangat mungkin dilakukan.

Ia juga menyoroti banyak nama bakal calon presiden yang sudah mulai bermunculan di masyarakat padahal Pemilu Presiden 2024 masih tiga tahun lagi.

Dia juga menyoroti fenomena yang terjadi saat ini yaitu banyak nama capres dideklarasikan. Padahal, sosok yang bersangkutan tidak memiliki partai politik sehingga perlu "tiket" dari parpol dengan minimal PT sebesar 20 persen.

"Saya pikir tahun 2022 kalau betul agendanya pemilu itu Februari 2024, maka Februari 2023 itu sudah pendaftaran maka 2022 kita bisa disebut sebagai tahun politik," katanya.

Selain itu, dia berharap di tahun politik 2022, kesolidan koalisi yang ada di parlemen perlu ditingkatkan dan dikelola lebih baik lagi. Menurut dia, jika tidak dikelola dengan baik maka berpotensi terjadi tarik menarik kepentingan politik masing-masing parpol dan mengganggu kesolidan koalisi parpol di parlemen.

PPP Buka Opsi Koalisi dengan PKB dan PKS

Sementara itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membuka opsi berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu 2024.

Hal ini untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.

Ketua DPP PPP Achmad Baidowi menilai, poros koalisi dengan sesama partai berlatar belakang Islam akan lebih bagus untuk mencapai soliditas.

"Kami positif siapa pun yang mengajak (koalisi), apalagi sesama rumpun koalisi parpol Islam, itu lebih bagus karena soliditasnya bisa tercapai," kata Baidowi, Kamis (16/12/2021).

Baidowi mengatakan, jika koalisi terbentuk, partainya tetap membuka kemungkinan mencalonkan presiden atau wakil presiden dengan latar belakang nasionalis.

Selain itu, berkoalisi dengan Partai Amanat Nasional (PAN) juga dapat menjadi opsi agar syarat ambang batas pencalonan presiden bisa tercapai.

"Yang penting adalah bagaimana poros Islam ini bisa memperoleh 20 persen kursi atau 25 persen suara dalam pemilu nanti, syarat usung capres," kata Baidowi.

Wacana Koalisi Partai Islam 

Sebelumnya, wacana membentuk koalisi partai Islam untuk Pemilu 2024 sudah pernah dilontarkan oleh PPP dan PKS.

Sekjen PKS Aboe Bakar Alhabsy mengatakan, partainya membuka peluang membentuk koalisi dengan partai yang memperjuangkan kepentingan umat.

Kendati demikian, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan tak sepakat dengan wacana pembentukan koalisi partai Islam untuk Pemilu 2024.

Pasalnya, ia melihat wacana koalisi partai itu justru akan memperkuat politik aliran di Indonesia. Padahal, kata dia, politik aliran seharusnya dihindari oleh semua partai politik.

"PAN melihat justru ini akan memperkuat politik aliran di negara kita. Sesuatu yang harus kita hindari," kata Zulkifli dalam keterangannya, Jumat (16/4/2021).

Baca Juga: Gerakan “Asal Bukan Prabowo”: Bukan Fenomena Baru, Berdampak Pada Elektoral?

Menurut dia, seharusnya semua pihak harus berjuang untuk kebaikan dan kepentingan semua golongan. Ia juga menilai, dalam koalisi tersebut justru akan memperkuat hadirnya politik aliran dan politik identitas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Zulkifli mengingatkan semua pihak atas pengalaman Pilpres 2019. Ia melihat, sentimen SARA, politik aliran dan politik identitas begitu kuat.

Adapun isu presidential threshold kembali hangat jelang Pemilu 2024. Aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Alasannya, syarat pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR membatasi tiap warga negara untuk maju.

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjadi salah satu pemohon uji materi aturan tersebut. Dalam permohonannya ke MK, Gatot meminta hakim MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7/2017.

Menurut Gatot, yang diwakili kuasa hukum Refly Harun, Pasal 222 UU Nomor 7/2017 itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945.

"Karena telah mengakibatkan pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta pemilihan umum," kata Refly, dalam surat permohonan, Selasa (14/12/2021).

Golkar, Gerindra dan Nasdem Tetap Ingin PT 20 persen

Partai Golkar melalui Wakil Ketua Umum Nurul Arifin menyatakan tetap berpegang pada presidential threshold 20 persen.

Ia berpandangan, ketentuan soal ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu perlu dipertahankan.

Dia juga menuturkan, partainya berpendapat, presidential threshold yang berlaku saat ini sudah cukup memenuhi pertimbangan rasio politik.

Baca Juga: Prabowo Sindir Anies dan Ganjar Soal Pertahanan: Jangan Menyesatkan, Memprovokasi, dan Menghasut

"Saya kira ini tetap harus dipertahankan, masalah angka kalau sekarang mengikuti 25 persen perolehan suara dan 20 persen kursi di parlemen saya kira sudah cukup," kata Nurul, Rabu (15/12/2021).

Ia pun berpendapat, presidential threshold tidak berarti mengamputasi dan mengeliminasi tugas partai politik karena partai politik tetap menjalankan fungsinya untuk kaderisasi dan menyampaikan aspirasi.

Partai Gerindra yang juga merupakan partai koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf berpandangan yang sama dengan Golkar.

Gerindra menyatakan siap dengan ketentuan presidential threshold 20 persen saat ini. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani.

"Kalau nanti ada kesepakatan baru, Gerindra siap. Prinsip Gerindra terbuka untuk membicarakan ini, kalau 20 persen siap," ungkap Muzani di Hotel Grand Sahid Jaya, Jumat (17/12/2021).

Sesama partai koalisi pemerintah di parlemen, Partai Nasdem juga menegaskan pihaknya menyepakati untuk tidak melakukan revisi UU Pemilu guna mengakomodasi wacana diturunkannya presidential threshold sebesar 0 persen.

Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa. Oleh karenanya, hingga kini aturan mengenai presidential threshold tetap 20 persen sesuai UU Pemilu yang berlaku.

"Enggak ada ruang mengubah 0 persen, dari 20 ke 0 persen itu enggak ada itu," kata Saan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021).

Reporter: Amrizal

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU