Optika.id – Dalam sejarah perpolitikan tanah air, Partai Golkar lah yang pertama kali menggelar model konvensi dalam menjaring calon presiden menjelang pemilihan presiden tahun 2004. Tetapi, partai berlambang pohon beringin ini justru menafikan model konvensi pada Pilpres 2009.
Pada tahun 2014, Partai Demokrat sempat menjalankan konvensi Capres namun gagal, lantaran elektabilitas para peserta konvensi gagal memenuhi kriteria. Serta tidak menarik bagi parpol yang lain, sehingga tidak mencapai Presidential Threshold. Tahun 2019 tidak ada partai politik yang menjalankan konvensi capres. Padahal, dengan sejumlah kekurangan dalam pelaksanaannya, konvensi tetap merupakan metode cerdas dalam memilih pemimpin nasional, dan cara elegan dalam membangun demokrasi bangsa.
Kini, meski pilpres 2024 masih 3 tahun lagi, citarasa demokrasi yang akhir-akhir ini meredup oleh perilaku minor dari parpol dan para elitenya, seolah kembali bergairah dengan adanya rencana Partai Nasdem untuk melakukan konvensi.
Menurut Airlangga Pribadi Ph.D, pengamat politik Universitas Airlangga, konvensi calon Presiden masih penting. Tentunya untuk menjaring tokoh dan figur yang mendapatkan dukungan dari bawah.
“Dan konvensi menunjukkan keterbukaan Partai terhadap suara dari rakyat. Konvensi juga perlu disinergikan dengan pola pengambilan kebijakan di internal setiap partai-partai politik,” ujar alumnus Murdoch University ini pada Optika, Selasa (2/11/2021).
Ketika ditanya mengenai syarat Presidential Threshold partai politik diharuskan berkoalisi untuk mengusung calon presiden. Airlangga mengingatkan bahwa keputusan terakhir, adalah proses politik tentu perlu mempertimbangkan dinamika aliansi politik. “Namun yang paling penting adalah etika politik bahwa hasil konvensi Partai akan diperjuangkan dalam penentuan calon Presiden dan wakil presiden dalam aliansi dengan partai lain,” jelasnya.