Pesan Sakral dan Spiritual Soekarno di Surabaya

author Seno

- Pewarta

Senin, 04 Jul 2022 13:44 WIB

Pesan Sakral dan Spiritual Soekarno di Surabaya

i

IMG-20220630-WA0036

Optika.id - Dalam buku catatan pembangunan Tugu Pahlawan yang dibuat Sarodja, pelaksana pembangunan Tugu Pahlawan, dituliskan bahwa Presiden Soekarno membuat rangcangan design Tugu Pahlawan setelah ia menolak beberapa gambar yang diajukan kepadanya.

[caption id="attachment_31528" align="aligncenter" width="788"] Gambar desain Tugu Pahlawan[/caption]

Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya

Akhirnya, pembangunan yang ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Soekarno pada 10 November 1951 dan diresmikan pada 10 November 1952 itu menghasilkan sebuah Tugu yang berbentuk seperti paku terbalik, yang dimaksudkan untuk mengenang sejarah perjuangan para pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya.

Tugu ini memiliki arti bahwa angka 10 terekspresikan pada jumlah lekuk pada tubuh Tugu. Kemudian angka 11 atau bulan November terwakili oleh jumlah sap sap pembentuk batang tubuh tugu. Sedangkan angka 19 diekspresikan melalui jumlah gunungan pada sabuk relief sebagai simbol api perjuangan dan angka 45 terwakili oleh tinggi tugu, 45 yards.

Makna peringatan 10 November 1945 inilah yang selama ini diketahui oleh publik. Padahal, masih ada makna penting lainnya, tapi belum dipahami oleh publik. Sesungguhnya, makna ini menjadi harapan Presiden Soekarno kepada generasi penerus bangsa untuk mengisi buah kemerdekaan yang telah dihasilkan oleh para pendahulu dan Pahlawan bangsa.

Mengamati pamaknaan yang ada, diduga Presiden Soekarno menjadikan Tugu Pahlawan sebagai perlambang biologis dan kesuburan, yang melahirkan generasi penerus tangguh untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu dalam meraih cita cita bangsa.

Secara filosofis, Tugu Pahlawan menjadi perlambang Lingga-Yoni, yaitu simbol organ maskulin dan feminin. Lingga (maskulin) mengandung energi penciptaan. Akan tetapi, energi tersebut akan berfungsi apabila disatukan dengan energi shakti, yang disimbolkan dalam wujud yoni (feminin) untuk melahirkan dan memberikan kekuatan bagi energi penciptaan.

Dengan demikian, penyatuan antara lingga sebagai organ maskulin dengan yoni yang merupakan simbol organ feminin akan menghasilkan energi penciptaan, yang merupakan dasar dari semua penciptaan.

Secara biologis bertemunya lingga dan yoni adalah bertemunya organ laki laki (sperma) dan perempuan (indung telur) sehingga terlahirkan anak manusia sebagai pusaka atau energi dalam meraih cita cita.

Lambang Maskulin nampak pada wujud Tugu yang berdiri tegak menjulang ke atas. Itulah lingga, yang artinya sebuah objek tegak, tinggi yang melambangkan falus atau kemaluan Batara Siwa.

Sedangkan lambang feminin nampak pada kolam air pada bagian dasar Tugu, yang artinya sebuah tempat untuk melahirkan.

Sementara pemaknaan proses biologis kelahiran ini tersirat pada relief sabuk simbol Api Perjuangan pada pangkal bawah Tugu.

Simbol relief ini berupa formasi yang membentuk gunungan (segi tiga) yang di dalamnya terdapat Padmamula (benih awal mula manusia, sperma), stamba (tiang yang berdiri tegak, alat vital pria), cakra-trisula (pusaka pusaka Krisna dan Arjuna, anak manusia).

Ternyata, Presiden Soekarno melambangkan Tugu Pahlawan, tidak hanya sebagai tetenger atas perjuangan masa lalu, tapi juga sekaligus sebagai pengingat kepada generasi penerus untuk berjuang demi masa depan.

Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jl. Guntur dan Jl. Megawati Perlambang Lingga Yoni

Nama Jalan Guntur dan Jalan Megawati di lingkungan Kelurahan Peneleh Surabaya, yang mulai ada sejak bulan Maret 1950, diduga kuat ada kaitannya dengan Presiden Soekarno, yang saat remajanya pernah hidup di kampung Pandean, Peneleh dan Plampitan, kelurahan Peneleh, (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, edisi 1966 dan 2007).

Penelusuran tim Begandring Soerabaia atas petunjuk buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indinesia edisi 2007, menemukan sebuah rumah yang menurut pengakuan dan sepengetahuan warga setempat adalah rumah dimana Soekarno muda pernah bertempat tinggal. Rumah ini beralamat di Plampitan II, yang posisinya beririsan dengan jalan Megawati dan jalan Guntur. Cucu Soekarno, Puti Guntur Soekarno pernah mengunjungi rumah itu.

Jika Soekarno muda pernah tinggal di Plampitan II pada awal tahun 1920-an, dan penamaan jalan Guntur dan jalan Megawati pada tahun 1950 ketika Soekarno sudah menjadi Presiden, diduga Soekarno dengan previligenya bisa menyematkan nama kedua anak laki laki dan perempuannya (Guntur dan Megawati) sebagai tetenger pribadinya di kampung itu dan sebagai legacynya di kota Surabaya.

Guntur nama khas untuk laki laki, yang secara harafiah berarti halilintar atau petir. Sedangkan petir sendiri merupakan gelar dewa yang dimiliki oleh dewa Indra. Ia dewa cuaca dan raja khayangan. Menurut mitologi Hindu, Indra adalah dewa yang memimpin delapan Wasu, yaitu delapan dewa yang menguasai aspek-aspek alam.

Sementara Megawati adalah nama khas perempuan, yang dari kata Mega, yang berarti awan dan menghasilkan air, maka Mega, yang pada akhirnya menghasilkan air, memiliki sifat feminin. Jadi sesungguhnya Guntur dan Mega merupakan simbol semesta, penyatuan dua unsur utama dalam semesta.

Baca Juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya

Menurut Hendra Budianto, seorang penganut Buddhis asal Banjar, yang secara praktis bergiat di sejarah peradaban Hindu Budha dan berprofesi arsitek, bahwa penyatuan dua unsur utama dalam semesta ini merupakan dwitunggal yang melambangkan siwa+uma (hindu) dan vairocana-locana (buddha mahayana).

Guntur, yang berarti halilintar dan api, memiliki sifat maskulin atau laki laki. Sedangkan Megawati, yang berarti awan dan air, bersifat feminin atau perempuan. Jadi keduanya adalah perpaduan semesta, jelas Hendra ketika ditemui di Taman arkeologi Joko Dolog Surabaya pada Rabo sore, 29 Juni 2022.

Dengan dugaan bahwa penamaan jalan Guntur dan jalan Megawati di lingkungan kelurahan Peneleh ada pengaruh Bung Karno di masa pemerintahannya pada tahun 1950, maka penamaan itu merupakan sebuah proses penamaan yang sakral dan spiritual oleh Bung Karno karena melalui perenungan yang dalam dan sangat filosofis.

Nama Guntur dan Megawati menjadi nama jalan di Surabaya adalah sebuah legacy dan pesan kepada rakyat Surabaya bahwa berapa Bung Karno cinta kepada Surabaya sebagai kota kelahiran dan kampung halaman. Tugu Pahlawan dan jalan Guntur serta jalan Megawati adalah wujudnya.

Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)

Editor: Pahlevi 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU