Perlunya Melestarikan Budaya

author optikaid

- Pewarta

Sabtu, 13 Nov 2021 00:27 WIB

Perlunya Melestarikan Budaya

i

dok. goodnewsfromindonesia.id

Optika.id. Surabaya. Saya ingat ada kisah ilmuwan Amerika Serikat mungkin seorang antropolog -jauh-jauh dari negaranya dengan susah payah pergi ke dusun terpencil di Nepal di kaki gunung Himalaya hanya untuk bertemu dengan dua penutur kata bahasa lokal yang akan punah. Dikhawatirkan kalau dua orang ini meninggal dunia maka bahasa lokal itu akan punah karena hanya tinggal dua orang itu yang faham bahasaa lokal tersebut. Kisah ilmuwan AS yang berupaya melestarikan bahasa lokal itu dari kepunahan di wilayah Himalaya di Nepal. menunjukkan betapa pentingnya melestarikan suatu warisan budaya itu. 

Saya pernah bertemu dengan junior saya yang ikut Pertukaran Pemuda ASEAN-Jepang tahun 1982 dari perwakilan Yogyakarta namanya Dr. Indira Laksmi Gamayanti panggilannya Yanti alumni UGM, seorang psikolog dan menjadi dosen di kampusnya tepatnya di FK UGM. Jeng Yanti yang putri seorang Kolonel TNI AD, seorang dokter yang pernah menjabat sebagai Kepala Kesehatan Kodam Diponegoro Jawa Tengah dan Kodam Hasanudin Sulawesi Selatan (jaman pemerintahan Suharto dulu) membawa saya ke kediaman mendiang neneknya dan menujukkan klinik psikologi nya yang terletak di jl. Juwadi Kotabaru Yogyakarta. 

Omah Perden

Di kediaman yang asri, bangunan tua Belanda yang masih terawat dengan baik. klinik ini bernama Omah Perden sebuah lembaga pengembangan diri dari komunitas Kemuning Kembar dimana dia jadi ketuanya. Omah berarti rumah dan Perden dari kata Jawa Perdi yang artinya diwulang wuruh amurih becike, diwanuhake nindakake tata pranoto kang becik artinya diajarkan dan dibiasakan untuk melalukan sesuatu yang baik.

Jeng Yanti membuat pelatihan bagi ibu-ibu muda (yang tidak muda juga ada) bagaimana mengasuh balita dengan tradisi Jawa. Kegiatannya berdasar ilmu psikologi modern dengan memperhatikan tradisi budaya nusantara khususnya Jawa sebagai dasar dari media penyampaiannya. Dia juga menunjukkan pada saya Buku Panduan Pola Asuh Balita Berbasis Tradisi Jawa yang diterbitkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dimana dia sebagai salah satu Tim Ahlinya.

Jeng Yanti sangat sibuk kegiatannnya maklum disamping sebagai dosen UGM, dia juga (pada waktu saya bertemu) menjabat Ketua Ikatan Psikologi Klinis Indonesia dan menaruh perhatian pada bagaimana melestarikan budaya Jawa dengan cara melakukan pelatihan-pelatihan pada ibu-ibu, misalkan ketika seorang ibu bercengkerama dengan anak balitanya sambil duduk atau ditempat ayunan harus disertai nembang (melagukan) nyanyian tradisional Jawa Tak Lelo Lelo Le Dung atau ketika ibu memijiti balita diiiringi dengan lagu Sluku Sluku Batok. Pendeknya tradisi Jawa dari mulai ibu hamil, melahirkan dan mengasuh anak diajarkan. Dalam melakukan kegiatannya ini Yanti dibantu 2 dokter ahli syaraf, 15 psikolog dan beberapa edukator. Di buku Panduan Pola Asuh Balita Berbasis Tradisi Jawa itu banyak di tampilkan berbagai lagu-lagu dan cerita-cerita tradisional Jawa dan gambar gambar berwarna yang menarik yang menjelaskan secara detail bagaimana merawat kehamilan dan mengasuh bayi.

Generasi Muda Jawa Tidak Faham Bahasa Jawa

Ketika saya tanyakan kenapa dasar kegiatannya itu budaya Jawa, Yanti mengatakan bahwa dia sebagai orang Jawa Yogya khawatir suatu saat budaya Jawa itu hilang dan generasi muda Jawa tidak mengerti tentang bagaimana berbahasa Jawa. Karena itu mau tidak mau harus dilestarikan. Saya lalu ingat pada ilmuwan Amerika Serikat itu yang memiliki kekhawatiran tentang punahnya suatu budaya. Saya juga meng-amini kekhawatiran jeng Yanti soal generasi muda Jawa tidak faham bahasa Jawa karena saya pernah dipanggil mahasiswa saya dengan kata sampeyan. Karena itu betul Yanti punya kekhawatiran tentang punahnya budaya Jawa di keluarga (mengingat sekarang ini banyak anak-anak diajari berbahasa Indonesia di rumah. Bukan berarti mengajarkan bahasa nassional kepada anak-anak itu suatu yang salah, namun selayaknya bahasa ibunya atau bahasa daerah juga diajarkan).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara itu ditempat terpisah saya di Yogyakarta bertemu juga junior saya di program pertukaran Pemuda ASEAN- Jepang itu namanya Dr. Titik Mutia, seorang dosen di FISIPOL UGM (dia tahun 1987 sama-sama mengambil program Master dengan saya di University of London, Inggris). Disela-sela diskusi dengan saya soal politik Indonesia dan Timur Tengah dia menceritakan tentang cucunya yang minta di bacakan cerita menjelang tidur, dan jeng Titik menawarkan cerita Gatotkaca, cucunya menolak dan meminta dibacakan cerita dari negeri barat seperti Spiderman, Batman dsb. Namun dengan persuasi yang baik pada akhirnya cucunya bersedia mendengarkan cerita Gatutkaca dari eyang putrinya sampai tertidur lelap.

Baik Dr. Yanti maupun Dr. Titik mengatakan bahwa kita tidak menolak hal-hal positif dari luar negeri namun budaya luhur bangsa sendiri tidak boleh ditinggalkan dan dilupakan dan harus diajarkan pada generasi muda bangsa ini. Kami pernah bersama-sama berkunjung ke Tokyo dan beberapa Perfecture di Jepang (saya sendiri juga pernah bekerja di Bank Jepang yang level dunia), menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana negara Jepang yang modern itu, orang-orangnya masih mempraktekan budaya tradisi Jepang dikehidupan sehari-hari mereka.

Dr. Yanti mengatakan mas saya bukan Jawa sentris; malahan saya berharap di kota-kota, di propinsi-propinsi lain ada lembaga seperti ini yang mengajarkan budaya lokal nya, kearifan lokal nya masing-masing kepada keluarga dan anak-anak nya agar budaya nusantara ini lestari.

Semoga harapan dia tercapai. 


Catatan Cak A. Cholis Hamzah

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU