Penundaan Pemilu, Pembegalan Demokrasi

author optikaid

- Pewarta

Minggu, 06 Mar 2022 17:21 WIB

Penundaan Pemilu, Pembegalan Demokrasi

i

Penundaan Pemilu, Pembegalan Demokrasi

[caption id="attachment_12269" align="alignnone" width="169"] Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I Sekdir Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Surabaya & Pengasuh Pesantren Bumi Al Quran Grand Masangan Sidoarjo[/caption]

Jagad politik Indonesia kembali heboh dan gaduh pasca para ketua umum partai politik (Gus Muhaimin PKB, Airlangga Hartarto Golkar, dan Zulkifli Hasan PAN) melontarkan pernyataan terkait penundaan Pemilu tahun 2024.

Baca Juga: PKS Usai KPU Memutuskan Hasil, Pertandingan Belum Selesai!

Kehebohan tersebut terpotret dari munculnya pro-kontra dikalangan masyarakat, mulai tokoh ormas, tokoh politik, para akademisi, pengamat politik termasuk kalangan bawah (obrolan Warkop).

Semisal tanggapan Prof Abdul Mu'ti (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang terlihat menolak, "meminta para elit politik untuk bersikap arif, bijaksana, serta mementingkan masa depan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok". "Janganlah menambah masalah bangsa dengan wacana yang berpotensi melanggar Konstitusi, ujar Abdul Muti pada Jumat (Republika.co.id, 25/2/2022).

Adapula, mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla angkat bicara terkait wacana penundaan Pemilihan Umum 2024. Menurut wakil presiden ke-10 dan 12 itu, jika terjadi perubahan pada agenda politik nasional terbesar itu, banyak masalah yang akan timbul salah satunya keributan di masyarakat. Kalau kita tidak taat konstitusi maka negeri ini akan ribut, kata Jusuf Kalla di Jakarta, Senin (28/2/2022). (Golkar Indonesia.com, 1/3/2022).

Adapula, tanggapan Gus Yahya (Ketum PBNU) terkesan mendukung, "Ada usulan penundaan pemilu dan saya rasa ini masuk akal mengingat berbagai persoalan yang muncul dan dihadapi bangsa ini," kata dia di Pondok Pesantren Darussalam di Pinagar, Sumatera Barat, Ahad, 28 Februari 2022. Menurut Gus Yahya, usulan penundaan pemilu ini dapat didudukkan bersama oleh seluruh pihak untuk mencari solusi terbaik. "Nanti kita lihat apa saja yang perlu dilakukan untuk mengurangi beban bangsa ini," kata dia. (Tempo.Co, 3/3/2022).

Adapun dari pantauan media alasan penundaan Pemilu yang dilontarkan para ketua umum partai tersebut terkesan sumir, tidak berbasis data dan terkesan mengada-ada.

Hal itu tampak dari alasan penundaan Pemilu yang disampaikan oleh Zulkfli Hasan (PAN), menerangkan, beberapa alasan yang membuat pihaknya berpikir Jokowi masih harus menjabat setelah 2024;

pertama karena situasi pandemi yang masih berlangsung dan memerlukan perhatian khusus. Lalu kondisi perekonomian yang belum stabil, sehingga pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat masih perlu melakukan pemulihan untuk kembali bangkit.

Baca Juga: Di Jepang, Prabowo Unggul dari Anies dan Ganjar

Alasan lain melihat perkembangan situasi konflik global yang perlu diantisipasi, di antaranya perang Rusia-Ukraina dan tidak menentun harga minyak dunia. Lalu anggaran Pemilu yang justru membengkak dari rencana efisiensi, sehingga lebih baik dikonsentrasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Terakhir, keberlangsungan program-program pembangunan nasional yang sebelumnya tertunda akibat pandemi.
"Mempertimbangkan hal-hal tersebut, serta setelah mendengar masukan dan aspirasi dari berbagai kalangan, PAN setuju bahwa pemilu perlu dipertimbangkan untuk diundur," kata Zulhas. (Tempo.Co, 25/2/2022).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hemat saya wacana penundaan Pemilu sama dengan pembegalan demokrasi. Pembegalan demokrasi maksudnya sebuah proses seolah sudah sesuai dengan kaidah demokrasi yang disepakati tetapi pada realitas adalah sebuah proses demokrasi yang dipaksakan dengan motif kekuasaan ansich tanpa mempertimbangkan dampak negatif dan berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan demokrasi di masyarakat.

Munculnya gagasan penundaan Pemilu ditengah proses tahapan pemilu yang sedang dijalankan oleh KPU, dapat menjadi preseden buruk pagi iklim politik di Indonesia. Dan dapat berpotensi menjadi "Chaos Demokrasi" di masyarakat. Jika hal itu terjadi tentu harga politik yang dibayar sangat mahal, dalam bahasa Jawa ada istilah "eman" bagi persatuan bangsa Indonesia yang sudah terbangun baik.

Selain itu iklim demokrasi di Indonesia selama ini termasuk masuk katagori baik dilevel dunia walaupun masih sebatas demokrasi prosedural. Sehingga yang sebenarnya kita harapkan dari para elit Partai Politik pemegang kekuasaan sebagai mandat dari rakyat adalah pembangun demokrasi subtansial. Bukan hanya sibuk dan ramai memikirkan kepentingan dan urusan jabatan dan kekuasaan untuk diri dan kelompoknya aja.

Baca Juga: Optimis Satu Putaran, Relawan Konco Prabowo Siap Dukung Ekonomi Jawa Timur Tumbuh

Seharusnya para elit politik lebih fokus memikirkan nasib rakyat yang sedang kesulitan mendapatkan minyak goreng padahal kita produsen kelapa sawit yang besar, kelangkaan kedelai, tempe tahu, padahal kita Negera agraris. Dan memikirkan menurunkan harga daging sapi, cabe rawit, dan kebutuhan pokok rakyat semakin merangkak naik. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa ditangani secara serius maka dapat berpotensi kerusuhan sosial.

Semoga para elit politik sadar dan kembali ke jalan yang bener, yaitu taat konsitusi dan kebijakan yang dibuat berorientasi pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana kaidah usul fiqih " Tasharuf Al imam 'ala raiyathun manuthun bil mashlahah"

Tulisan Dr Sholikhul Huda

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU