Pengamat: Laksamana Yudo Margono Paling Berpeluang jadi Panglima TNI

author Seno

- Pewarta

Kamis, 07 Okt 2021 16:20 WIB

Pengamat: Laksamana Yudo Margono Paling Berpeluang jadi Panglima TNI

i

images (86)

Optika, Surabaya - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, mengatakan KSAL (Kepala Staf Angkatan Laut) Laksamana TNI Yudo Margono, dianggap paling berpeluang menjadi Panglima TNI saat ini.

"Kita bisa melihat bahwa tidak ada barrier (penghalang, red) dalam relasi antara Presiden Joko Widodo dan Laksamana Yudo Margono. Namun hal itu sekaligus menunjukkan bahwa beliau tidak punya endorser (pendukung, red) yang sangat kuat untuk menggaransi dirinya," ujar Fahmi ketika ditemui Optika di Surabaya, Kamis (7/10/2021).

Menurut Fahmi ada 3 faktor, yang ada pada sosok Laksamana TNI Yudo Margono:

1. Pentingnya menjaga kesetaraan posisi dan kesempatan bagi tiap matra. Termasuk dalam hal menjadi Panglima TNI. Berawal dari Jenderal Moeldoko dari Matra TNI AD (30/8/2013 - 8/7/2015). Setelah itu Jenderal Gatot Nurmantyo dari Matra TNI AD juga (8/7/2015 - 8/12/2017). Diteruskan oleh Marsekal Hadi Tjahjanto dari Matra TNI AU yang jadi Panglima TNI (8/12/2017 - sekarang). Dalam hal ini tentunya saat ini adalah giliran untuk Matra TNI AL.

2. Faktor usia. Seperti yang sering dikatakan Fahmi, masa jabatan yang terlalu singkat akan berpotensi menimbulkan ketidakefektifan dalam pengelolaan organisasi. Laksamana Yudo Margono lahir pada 26 November 1965, sementara Jenderal Andika Perkasa lahir 21 Desember 1964. Sehingga Laksamana Yudo Margono lebih muda 1 tahun dari Jenderal Andika Perkasa.

3. Memperhatikan bentuk-bentuk ancaman potensial, maka Indonesia punya kebutuhan membangun kekuatan pertahanan laut yang memadai dan interoperabilitas antar matra. Dalam hal ini Panglima TNI dari TNI AL urgensinya lebih dibutuhkan. Tak lupa aspek loyalitas sangat dipertimbangkan juga oleh Presiden.

Sementara itu, kata Fahmi, KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Jenderal TNI Andika Perkasa memiliki endorser (pendukung, red) kuat sekaligus barrier (penghalang, red). Melalui sosok ayah mertuanya, Jenderal TNI (Purn) A.M. Hendropriyono maupun dari beragam pernyataan dukungan dari sejumlah politisi dan tokoh.

Apakah 'bekingan' dari Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono kurang kuat untuk saat ini ?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Mestinya urusan-urusan dengan Hendropriyono sudah rampung di periode pertama. Pada periode kedua ini, Jokowi sudah tuntas konsolidasi TNI. Panglima TNI Hadi Tjahjanto juga bisa dibilang sepenuhnya merupakan 'orang Jokowi'. Artinya, mestinya dia tidak lagi memerlukan 'jasa' purnawirawan untuk berurusan dengan TNI," jawabnya lugas

Menurut Fahmi, pergantian Panglima TNI memang merupakan sebuah proses politik. Presiden mengusulkan dan kemudian DPR akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan Presiden.

"Yang tidak patut adalah, jika instrumen atau kekuatan politik digunakan untuk memperkuat peluang dipilih Presiden. Dengan komunikasi dan negosiasi politik, yang ditampakkan melalui dukungan maupun pernyataan politisi, yang menunjukkan keunggulan calon tertentu dibanding calon lainnya. Sulit membayangkan hal itu akan bisa terbebas dari komitmen-komitmen transaksional," tutur alumnus Universitas Airlangga ini.

Jika ini yang terjadi dan proses politik berpihak pada pihak yang melakukan, lanjutnya, akan sulit bagi publik untuk memandang objektif kiprah kelembagaan TNI.

"Sulit bagi TNI untuk secara fair berjarak dengan kekuatan politik yang 'getol' mendukung Panglimanya. Sulit membayangkan kekuatan-kekuatan politik pendukung itu tidak tertarik melibatkan TNI dalam 'mengamankan' kepentingannya," pungkasnya. (Zal)

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU