Pengamat: Baliho Jokowi 3 Periode, Untuk Tandingi Survei Tolak Penundaan Pemilu

author Seno

- Pewarta

Kamis, 17 Mar 2022 22:37 WIB

Pengamat: Baliho Jokowi 3 Periode, Untuk Tandingi Survei Tolak Penundaan Pemilu

i

Ali Sahab, pengamat politik Unair

Optika.id - Menanggapi munculnya baliho dukung Presiden Joko Widodo 3 periode di Surabaya, Pengamat politik Universitas Airlangga Ali Sahab menuturkan adanya baliho tersebut untuk menandingi hasil survei penolakan penundaan Pemilu 2024.

"Saya kira ini upaya lain untuk menandingi hasil survei yang terkait penolakan pengunduran (penundaan) pemilu 2024," tuturnya pada Optika.id, Kamis (17/3/2022).

Baca Juga: KPU Soal Putusan Sidang, Kami Serahkan Semuanya ke MK

Menurutnya, tujuan adanya baliho tersebut adalah untuk membentuk public opinion (opini publik).

"Ya memang pasti ada yang setuju dan tidak (wacana presiden Jokowi 3 periode), tapi kita harus berpedoman pada konstitusi," imbuhnya.

Apakah adanya baliho itu by design?

"Statement beberapa ketua umum partai politik mengusulkan penundaan tentunya itu sudah jadi pemikiran yang artinya by design," jawab Ali lugas.

Ditanya apakah ada arah ke amandemen UUD 1945 untuk memuluskam agenda tersebut.

Menurut Ali, kemungkinan itu (amandemen UUD 1945) ada dan kalau menghitung partai koalisi pasti bisa. Dalam kondisi seperti ini mana partai-partai dan politisi yang pro konstitusi dan tidak.

KPU Jadi Alat Pemerintah Tunda Pemilu?

Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyebut khawatir KPU (Komisi Pemilihan Umum) akan dijadikan alat pemerintah untuk menunda Pemilu 2024.

Dia menjelaskan, terdapat 2 skenario yang memungkinkan dengan menjadikan KPU sebagai alat menunda Pemilu 2024.

"Saya hanya ingin berbagi kekhawatiran saya, jangan-jangan KPU bisa jadi jalan yang dipakai untuk menunda pemilu, sehingga terjadi keadaan krisis konstitusional dan seakan terjadi keadaan objektif rasional untuk menunda pemilu," ujar Zainal di dalam video akun YouTubenya berjudul 'Bisakah KPU Gagalkan Pemilu 2024' seperti dikutip Optika.id, Kamis (17/3/2022).

Skenario pertama, lanjutnya, KPU periode 2022-2027 yang akan dilantik beberapa pekan mendatang menyatakan tidak mampu menggelar Pemilu 2024.

Menurut Zainal, skenario ini bisa dilakukan dengan memberhentikan jajaran komisioner KPU terkait karena tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan tugas.

"Penundaan itu dilakukan kapan? Pernyataan menyerah itu dilakukan kapan? Misalnya, sekarang ditetapkan 14 Februari oleh KPU sekarang yang akan diganti 10 April 2022. Tiba-tiba KPU yang akan dilantik menyatakan tidak mampu untuk menyelenggarakan pemilu. Maka saya termasuk mengatakan ya sangat mungkin kita dorong ke arah komisioner KPU ini tidak punya kapasitas untuk menyelenggarakan pemilu dan dapat menjadi alasan pemberhentian," jelasnya.

Skenario kedua yang mungkin dimainkan, katanya, KPU tiba-tiba menyatakan tidak bisa menggelar Pemilu 2024 jelang hari pemungutan suara 14 Februari 2024.

Menurutnya, skenario ini bisa diatasi lewat cara yang diatur di Pasal 555 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam aturan itu, kata Zainal, mekanisme penyelenggaraan pemilu diambil alih oleh Sekjen KPU yang bila tidak mampu juga maka diambil alih presiden dan DPR.

"Misalnya seharusnya yang dilakukan kalau komisioner tidak bisa melakukan tahap, maka di UU Pemilu Pasal 555 disediakan mekanismenya. Dikatakan ya seharusnya Sekjen KPU ambil alih, kalau ada tahapan penyelenggaraan tidak bisa dilakukan komisioner," tandasnya.

Dia mengatakan pengambilalihan kewenangan menyelenggarakan pemilu akan menjadi hal yang merepotkan bila sampai dilakukan oleh presiden dan DPR. Apalagi, menurutnya, pengambilalihan itu tidak diikuti dengan keseriusan untuk menggelar pemilu.

Dalam situasi ini, Zainal menyebut akan terjadi situasi krisis konstitusional.

"Repotnya, adalah bagaimana kalau Presiden dan DPR RI tidak serius untuk melakukan pemilu, maka dengan seketika terjadi semacam krisis konstitusional," ujarnya.

Zainal menuturkan, dirinya tidak bermaksud untuk mengatakan KPU jahat, mau merusak pemilu, atau tidak mau melakukan pemilu.

Baca Juga: Peta Politik Kekuatan Partai Pemilu di Surabaya

Namun, dia menilai nuansa proses pemilihan komisioner KPU periode 2022-2027 beberapa waktu lalu agak berbau amis karena nama komisioner terpilih sudah beredar sebelum fit and proper test.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Mulai dari tingkat pansel (panitia seleksi), lalu kemudian di tingkat fit and proper test. Bahkan, kemudian orang-orangnya, beredar nama mereka terpilih jauh sebelum fit and proper test dilakukan. Artinya, sudah ada kesepakatan-kesepakatan," katanya.

Diketahui, di tengah wacana penundaan Pemilu 2024, tujuh komisioner KPU dan lima anggota Bawaslu masa jabatan 2022-2027 terpilih telah bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Melalui unggahan foto di Instagram-nya @cakiminow pada Jumat (11/3/2022) lalu. Dalam unggahan itu, terlihat Cak Imin dan 12 orang KPU-Bawaslu beserta 2 orang lainnya duduk dan foto bersama.

Seperti informasi yang santer beredar sebelumnya, Optika.id sudah mendapat informasi terkait pemilihan anggota Komisioner KPU-Bawaslu terpilih. Berikut data yang diperoleh Optika.id:

KPU:

1. Parsadaan Harahap (HMI/Golkar)

2. Idham Holid ( HMI/Nasdem)

3. Betty Epsilon Idroos (HMI/Nasdem)

4. Augus Mellaz (non muslim/PDIP)

5. Yulianto Sudrajat (GMNI/PDIP)

6. Mochammad Afifuddin (PMII/PKB)

Baca Juga: Idham Holik Berikan Bukti Tambahan untuk Yakinkan MK Sebelum Memutus

7. Hasyim Asy'ari (Ansor/Gerindra)

Bawaslu:

1. Rahmat Bagja (HMI/Golkar)

2. Puadi (HMI/Gerindra)

3. Totok Haryono (GMNI/PDIP)

4. Herwyn Jefler H. Malonda (Non Muslim/Nasdem)

5. Lolly Suhenty (PMII/PKB)

Namun hal tersebut belum terbukti apakah nama-nama di atas simpatisan partai politik tersebut. Belum ada konfirmasi dari parpol maupun pihak terkait.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU