Pemilu di Indonesia: Semakin Demokratis atau Justru Kemunduran? Pemilu 2014: Caleg Perempuan Di Nomor Topi (Seri 2)

author Seno

- Pewarta

Selasa, 01 Nov 2022 12:02 WIB

Pemilu di Indonesia: Semakin Demokratis atau Justru Kemunduran? Pemilu 2014: Caleg Perempuan Di Nomor Topi (Seri 2)

i

images (30)

Optika.id - Analisis pengamat politik dari Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Mahmud, S.IP, MSi pada pemilu 2014 ada beberapa inovasi yaitu memaksakan kepada parpol (partai politik) mengusung calon perempuan sebanyak, minimal, 30 persen. Caleg (calon legislatif) perempuan itu harus ada di nomor topi (nomor atas). Tidak boleh nomor sepatu (nomor bawah) saja.

Selain itu mulai dikembangkan lagi inovasi penghitungan suara dampingan dengan teknologi komputer bernama SIPOL, SIDALIH, SILOG hingga SITUNG. Penghitungan dampingan itu adalah penghitungan suara untuk mengontrol dan mempercepat membaca hasil penghitungan suara pemilu, meskipun tidak dipakai untuk dasar penetapan hasil penghitungan suara yang sah. Suara sah hasil pemilu tetap didasarkan atas suara manual sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Baca Juga: TKD KIM Surabaya Konsolidasi Perkuat Dukungan Prabowo-Gibran

Penghitungan dengan komputer itu pernah dicoba dalam pemilu 2004 namun infra struktur teknologi masih lemah dan terbatas sehingga tidak diteruskan. Di samping itu KPU, KPUD, dan KPPS se-Indonesia belum terampil menggunakan komputer. Lebih dari itu budaya masyarakat belum bisa menerima penghitungan pemilu dengan komputer. Budaya curiga penghitungan komputer oleh KPU, KPUD, dan jajarannya bakal dimanipulasi masih besar sekali.

Di pemilu 2014 parliament threshold (PT) dinaikkan menjadi 3,5 persen, yang sebelumnya 2,5 persen. Ada kecenderungan angka PT dinaikkan terus. Tampaknya langkah ini yang digunakan parpol besar untuk mengurangi jumlah parpol dalam DPR RI.

Berbagai catatan mewarnai pelaksanaan Pemilu 2009 utamanya terkait dengan kesiapan penyelenggara Pemilu yang dalam hal ini adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam menyiapkan daftar pemilih. Berbagai pemberitaan menyebutkan bahwa banyak terjadi sengkarut daftar pemilih mulai dari banyaknya pemilih yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar dalam DPT, hingga banyaknya pemilih siluman dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang ditetapkan oleh KPU yang berpotensi memunculkan kecurangan dalam Pemilu.

Tidak hanya itu, Pemilu 2009 juga dianggap masih belum mampu melakukan pembatasan terhadap partai peserta Pemilu sehingga jumlah peserta Pemilu mencapai 44 partai.

Affirmative policy (AP) 30 persen Caleg (calon legislatif) perempuan pun masih belum memenuhi harapan. Ada kecenderungan Caleg perempuan ditempatkan sebagai pelengkap untuk memenuhi syarat daftar Caleg yang diajukan oleh partai politik dengan menempatkannya pada nomor urut terbawah. Dalam pemilu 2014 AP 30 persen perempuan dipaksakan kepada semua parpol yang menyusun daftar calegnya.

Berdasarkan pengalaman Pemilu di 2009, penyelenggaraan Pemilu 2014 mengalami berbagai pembenahan. Upaya untuk menciptakan penyelenggaran pemilu yang transparan dan akuntabel salah satunya dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi/ jaringan internet untuk mensukseskan penyelenggaraan Pemilu. Berbagai aplikasi diluncurkan oleh KPU mulai dari SIPOL Ssistem Informasi Partai Politik), SIDALIH (Sistem Data Pemilih), SILOG (Sistem Informasi Logistik) hingga SITUNG (Sistem Informasi Penghitungan Suara).

Untuk pendaftaran dan verifikasi data partai peserta Pemilu misalnya, KPU menggunakan aplikasi SIPOL. Untuk menjamin hak warga negara agar bisa menggunakan hak suaranya dalam Pemilu dibuat aplikasi SIDALIH dimana pemilih bisa mengecek secara langsung menggunakan jaringan internet apakah namanya telah terdaftar sebagai pemilih atau belum.

Untuk memantau penyiapan dan penyaluran logistik Pemilu, KPU menggunakan aplikasi SILOG, dan untuk memantau dan verifikasi proses rekapitulasi suara, ada aplikasi SITUNG dimana ada kewajiban dari penyelenggara pemilu dilevel tertentu untuk mengupload scan form C1. Tidak heran jika banyak pihak menilai pelaksanaan Pemilu 2014 jauh lebih baik dibandingkan Pemilu 2009.

Dalam Pemilu 2014 juga ada jaminan setiap warga negara bisa menggunakan hak pilihnya dengan adanya aturan yang menegaskan bahwa jika tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap, warga negara tetap bisa menggunakan hak suara dengan menunjukkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan atau paspor di TPS (Tempat Pemungutan Suara) sesuai alamat yang tertera dalam identitas tersebut. Pemilih ini dipersilahkan untuk memberikan suaranya di TPS 1 jam sebelum TPS tutup (UU 8/2012 ps. 150).

Walaupun ada peningkatan kualitas penyelenggaran Pemilu dalam Pemilu 2014, ada beberapa aspek yang bisa dilihat. Pertama, dalam Pemilu 2014 masih sama dengan Pemilu 2009 dan 2004 dimana dalam hal kelembagaan perwakilan masih memilih anggota DPR RI, DPRD DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota serta memilih anggota DPD RI.

Kedua, secara tegas sistem Pemilu legislatif menggunakan proporsional terbuka/ Bilangan Pembagi Pemilih (Quota Hare). Dimana Caleg terpilih adalah Caleg dengan suara terbanyak pada partai politik yang memperoleh kursi. (UU 8/2012. Ps. 5 dan 215). Oleh karena itu dalam Pemilu 2014, Pemilih memberikan suaranya dengan mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan atau nomor dan atau nama calon yang dipilih (Daftar Terbuka).

Untuk Caleg DPD RI masih sama dengan Pemilu 2009 dimana pemilih memilih dengan cara menandai nomor/ nama/ photo calon, dan metode penentuan Caleg terpilih didasarkan pada calon yang memperoleh suara terbanyak (sistem distrik berwakil banyak). Jika ada Caleg yang memperoleh suara sama, maka penentuannya akan dilihat berdasarkan penyebaran dan pemerataan suara di provinsi tersebut.

Ketiga, Penentuan jumlah kursi dalam Pemilu 2014 juga sama dengan Pemilu 2009, yakni didasarkan pada jumlah penduduk yang ada diwilayah tersebut. Untuk setiap DAPIL DPR RI alokasi kursinya antara tiga sampai sepuluh kursi (UU 8/2012, Ps.22). Sementara itu untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota berkisar antara tiga sampai 12 kursi (UU 8/2012, Ps.24 dan 29).

Jumlah kursi DPRD Provinsi pun masih sama dengan Pemilu 2009, dimana setiap provinsi jumlah kursi DPRD Provinsi berkisar antara 35 sampai 100 kursi. Sedangkan untuk DPRD kabupaten/ Kota berkisar antara 20 sampai dengan 50 kursi.

Keempat, penentuan DAPIL dalam Pemilu 2014 juga tidak berbeda dengan Pemilu 2009, dimana DAPIL DPR RI adalah Provinsi atau bagian dari Provinsi, kemudian untuk DPRD Provinsi adalah Kabupaten/ kota atau gabungan dari Kabupaten/ kota, dan DPRD Kabupaten/ kota adalah Kecamatan atau gabungan dari Kecamatan. Jumlah DAPIL DPR RI dalam Pemilu 2009 mencapai 77 Dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan mencapai 560 kursi. Sementara untuk DPD RI, setiap provinsi memperoleh alokasi empat kursi.

Kelima, Syarat peserta Pemilu dalam Pemilu 2014 lebih ketat jika dibandingkan dengan Pemilu 2009. Bukan hanya terhadap partai baru, tetapi juga partai yang pernah menjadi peserta Pemilu sebelumnya, dimana hanya partai politik yang memenuhi ambang batas suara nasional yang bisa menjadi peserta dalam Pemilu 20014. Bagi partai yang tidak memenuhi maka dianggap sebagai partai baru.

Baca Juga: Pernah Jadi Menaker, Cak Imin Diyakini Kuasai Materi Debat Cawapres

Dalam UU 8/2012, untuk menjadi peserta Pemilu partai politik harus memiliki kepengurusan diseluruh provinsi di Indonesia. Partai juga harus memiliki di 75 persen kabupaten/ kota di provinsi dan 50 persen kecamatan di kabupaten/ kota yang bersangkutan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Selain ada syarat memiliki jumlah anggota dan kepemilikan kantor, dalam Pemilu 2014 juga ada syarat partai harus menyerahkan nomor rekening dana kampanye ke KPU (UU 8/2012. Ps. 8i). Oleh karena itu, berbeda dengan Pemilu sebelumnya, dalam Pemilu 2014 partai peserta Pemilu berkewajiban untuk menyampaikan laporan dana kampanye bukan hanya diakhir, tetapi juga diawal Pemilu.

Partai Politik bisa mendaftar dan melampirkan berkas yang dibutuhkan melalui aplikasi SIPOL KPU. Pendaftaran peserta pemilu dilakukan selambatnya 20 bulan sebelum hari pemungutan suara (UU 8/2012 ps. 14) dan selambatnya 15 bulan sebelum pemungutan suara, KU sudah selesai melakukan verifikasi terhadap partai yang mendaftar (UU 8.2012. ps. 16).

Ketatnya persyaratan, proses pendaftaran dan verifikasi KPU yang dilakukan secara transparan dan akuntabel berdampak pada menyusutnya jumlah partai peserta Pemilu 2014 jika dibandingkan dengan Pemilu 2009. Tercatat dari puluhan partai yang mendaftar hanya 12 partai nasional dan 3 partai lokal Aceh yang berhasil lolos verifikasi. Dari 12 partai nasional, sepuluh merupakan partai peserta Pemilu sebelumnya dan dua merupakan partai baru.

Keenam, syarat pendaftaran Caleg dalam Pemilu 2014 tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2009. Beberapa aturan yang diketatkan KPU dalam pendaftaran Caleg antara lain Caleg yang menduduki jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah harus mundur dari jabatannya. Daftar Caleg yang diusulkan oleh partai maksimal 100 persen dari jumlah kursi di DAPIL tersebut, dan ada keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar tersebut dimana setiap tiga Caleg laki-laki harus ada satu Caleg perempuan (UU 8/ 2012. Ps. 56).

Daftar Caleg harus diajukan oleh partai politik selambatnya 12 bulan sebelum hari pemungutan suara, dan KPU akan mengumumkan daftar Caleg tersebut ke publik agar pemilih lebih mengenal para Caleg jauh sebelum hari pemungutan suara.

Untuk Caleg DPD RI, jumlah dan syarat dukungan yang harus diserahkan masih sama dengan Pemilu 2009. Hanya saja ada aturan yang menegaskan bahwa dalam dukungan tersebut tidak boleh ada kecurangan baik itu berupa paksaan maupun janji uang/ barang kepada pemberi dukungan (UU 8/2012. Ps.13.2).

Ketujuh, terkait dengan penyelenggara Pemilu dalam Pemilu 2014 juga masih sama dengan Pemilu 2009, dimana penyelenggara Pemilu adalah KPU dan BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu). BAWASLU adalah lembaga yang bersifat permanen/ tetap yang bertugas mengawasi pelaksanaan Pemilu sebagaimana amanat UU 22/ 2007. Sebelum adanya BAWASLU, tugas atau fungsi tersebut dilakukan oleh PANWAS yang sifatnya Ad hoc.

Hanya saja kewenangan BAWASLU dalam Pemilu 2014 tidak hanya sekedar memberi rekomendasi tetapi juga menjadi penyelesai sengketa yang sifatnya mengikat dan harus dijalankan oleh KPU.

Baca Juga: Tegas! Ketua KPU Tegur Gibran Ketika Debat Capres

Dalam hal menegakkan etik bagi penyelenggara Pemilu, dibentuk lembaga DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Lembaga ini sama dengan DK KPU dalam hal tugas dan fungsi yakni untuk menjaga dan menegakkan etik bagi penyelenggara Pemilu baik itu KPU maupun BAWASLU. Hanya saja berbeda dengan DK KPU, anggota DKPP terdiri dari satu orang anggota KPU, satu orang anggota BAWASLU, dan lima orang tokoh masyarakat. KPU atau BAWASLU wajib untuk melaksanakan keputusan DKPP jika ditemukan dan diputuskan ada pelanggaran etik administrasi oleh penyelenggara (UU 15/2011. Ps. 8).

Untuk menjamin tidak ada warga negara yang tidak terdaftar, KPU juga membentuk Panitia Pendaftaran Pemilih (PANTARLIH) yang terdiri dari perangkat desa, RT dan RW atau sejenis yang keanggotaannya diangkat dan diberhentikan oleh Panita Pemungutan Suara. (UU 8/2012. Ps. 34-35).

Parlementary Threshold dalam Pemilu 2014 naik sebesar satu persen jika dibanding Pemilu 2009, yakni menjadi 3,5 persen. artinya hanya partai yang memperoleh minimal 3,5 persen suara nasional yang akan diikutkan dalam proses pembagian kursi di DAPIL.

Pada awalnya ada upaya untuk menerapkan Parlementary threshold bukan hanya pada level DPR RI, tetapi juga pada level DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. Namun upaya tersebut dibatalkan oleh Mahkamah sehingga Parlementary Threshold hanya berlaku pada jenjang DPR RI seperti Pemilu sebelumnya.

Untuk Presidential Threshold juga mengalami kenaikan, dari sebelumnya 15 persen kursi DPR RI atau 20 persen suara nasional menjadi 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara nasional.

Tulisan: Mahmud, S.IP, MSi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU