Pemilihan Ketum PBNU, Fahrul: Ahlul Halli Wal Aqdi Harus Tetap Diperhatikan

author Seno

- Pewarta

Sabtu, 09 Okt 2021 09:47 WIB

Pemilihan Ketum PBNU, Fahrul: Ahlul Halli Wal Aqdi Harus Tetap Diperhatikan

i

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj didampingi Katib Aam PBNU Yahya Staquf (kanan)

Optika, Surabaya - Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) masih beberapa bulan lagi, namun banyak warga Nahdliyyin mulai membicarakannya. Hal ini tak lepas dari peran Nahdlatul Ulama sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia, yang sudah ada sebelum negeri ini merdeka. Fahrul Muzaqqi pengamat politik Universitas Airlangga mengingatkan dalam pemilihan Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), 'Ahlul Halli Wal Aqdi' tetap harus diperhatikan. Dia mengatakan, di antara para ulama sudah bisa menentukan pilihannya sendiri, sehingga bukan ummat yang menentukan tetapi para ulama sendiri.

Fahrul menuturkan di NU ada 'Ahlul Halli Wal Aqdi' yang merupakan institusi khusus yang berfungsi sebagai badan legislatif yang ditaati. Berisi orang-orang berpengaruh dalam jamiyyah NU, dan dibentuk karena keperluan khusus pula.

Secara bahasa, kata Fahrul, 'ahlul halli wal aqdi' berarti orang yang berwenang melepaskan dan mengikat. Disebut 'mengikat' karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli; dan disebut 'melepaskan' karena mereka yang duduk di situ bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati.

Jamiyyah NU kemudian menggunakan tradisi ini dalam bentuk badan resmi bernama syuriyah dan berfungsi sebagai ahlul halli. Karena posisinya, mestilah ditaati, karena syuriyah menjadi institusi tertinggi, terdiri dari rais aam, yang diangkat oleh muktamar dan para ahlul halli yang dipilih formatur.

Jadi, lanjutnya, ulama-ulama khusus itu mempunyai privilege menentukan arah dan tujuan lembaga PBNU.

"Karena bagi kaum Nahdliyyin tak hanya menggunakan rasional saja dalam memilih seorang pemimpin tetapi juga dilihat sisi spiritualnya. Sehingga marwah organisasi sebesar NU harus tetap dijaga," ujar Fahrul ketika ditemui Optika di Surabaya, Sabtu (9/10/2021).

Menurut Direktur Kajian Strategis Lakpesdam PWNU Jatim ini, agak kurang etis apabila ada lembaga survei yang melakukan survei untuk melihat elektabilitas mana yang tertinggi untuk memimpin PBNU.

"Rasanya kurang etis apabila ada lembaga melakukan survei untuk calon ketua umum PBNU, karena hal ini berbeda dengan pilihan demokrasi pada umumnya seperti pemilihan kepala daerah. Sehingga hal itu kurang tepat. Karena bagaimanapun itu filosofi NU adalah Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkitan ulama, bukan Nahdlatul Ummat," ujar Fahrul.

Fahrul juga kurang sepakat dengan sistem 'one man one vote' yang akan dilakukan ketika Muktamar NU pada bulan Desember mendatang.

"Sebaiknya tidak dijalankan dalam muktamar NU itu sistem one man one vote. Jadinya nanti kan yang menentukan ketum PBNU itu perwakilan ulama dari pengurus cabang maupun wilayah, sebaiknya ya balik ke 'Ahlul Halli Wal Aqdi' tadi. Para ulama sendiri yang memilih dengan bermusyawarah," jelasnya.

Seperti diketahui, perihal mekanisme pemilihan Ketua Umum, Ketua PWNU DKI Syamsul Maarif mengatakan sempat muncul perbedaan pendapat di Munas dan Konbes NU 2021. Menurut dia, mayoritas setuju Ketua Umum dipilih oleh pemilik suara yang sah, yaitu PWNU dan PCNU.

"Kalau untuk Ketua Umum memang kemarin sempat perbedaan pendapat, tapi masih mayoritas memilih dipilih secara 'one man one vote'," ujar Syamsul kepada wartawan, Jumat (1/10/2021).

Ada 3 Kiai yang Pantas Menjadi Ketum PBNU

Menurut Fahrul ada 3 sosok kiai yang menurutnya pantas memimpin PBNU, yakni, pertama KH Said Aqil Siroj yang merupakan petahana, kedua KH Yahya Cholil Staquf yang juga Katib Aam PBNU dan terakhir KH Hasan Mutawakkil Alallah yang juga ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jawa Timur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketiganya, imbuhnya, sudah tidak diragukan lagi ke-kiai-annya, dan kontribusinya bagi NU sudah banyak.

Pertimbangan utama dalam pemilihan Ketum PBNU tetap didasarkan kiprahnya di nasional maupun internasional.

"Saat ini PBNU tidak hanya menangani permasalahan ummat saja. Permasalahan ummat sekarang pun semakin kompleks, semakin berat. Dibutuhkan sosok pemimpin yang kapasitasnya nasional dan internasional. Harus memiliki jejaring internasional juga," tukasnya.

Ditanya mengenai isu KH Yahya Cholil yang pernah berkunjung ke Israel, Fahrul mengatakan hal itu tak menjadi masalah. Hal itu, kata Fahrul, membuktikan bahwa jejaring KH Yahya Cholil tak hanya di Indonesia saja tapi juga sampai ke luar negeri.

"Gus Dur juga punya isu kontroversial seperti pernah berkunjung Israel, tapi itu jangan di-judge dengan isu mendukung kemerdekaan Israel. Kalau itu hanya langkah strategis dan taktis itu perlu dipertimbangkan. Sehingga tidak sampai menjalin hubungan secara diplomatis. Kalau itu untuk kebaikan Indonesia dan ummat, kenapa tidak," tegasnya.

Bagaimana peluang Cak Imin (Muhaimin Iskandar, red) menjadi Ketum PBNU ?

"Menurut saya kurang tepat ya kalau Cak Imin maju jadi ketum PBNU. Habibatnya beliau di partai tidak perlu merambah ke PBNU apalagi wilayah struktural. PBNU itu wilayah ulama bukan politisi, sehingga nanti kurang elok kalau Cak Imin maju," jawabnya lugas.

Menurutnya, seringkali acara muktamar NU disusupi dengan agenda politik oleh partai politik. Salah satunya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), partai politik yang identik dengan NU.

"Hubungan PKB sendiri dengan NU itu 'jinak-jinak merpati', pertimbangan keumatan itu normatif jangan direduksi dan didistorsi menjadi PKB. Sikap PKB dengan NU tidak bisa sepenuhnya dihindari, jangan sampai PKB memanfaatkan NU untuk kepentingannya," katanya.

NU itu, lanjutnya, tidak tersekat dengan kepartaian. Sehingga tidak bisa dikooptasi dan direduksi oleh kepentingan PKB saja. (Zal)

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU