Pelestarian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

author Seno

- Pewarta

Rabu, 19 Okt 2022 17:41 WIB

Pelestarian Cagar Budaya Tematik di Surabaya

i

IMG-20221018-WA0008

[caption id="attachment_34017" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Nanang Purwono[/caption]

Optika.id - Menggembirakan mendengar kabar upaya pemanfaatan bangunan bangunan lama di Surabaya. Sudah selayaknya bangunan bangunan itu dimanfaatkan untuk memberi nilai tambah baik untuk tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, sosial, kebudayaan, ekonomi maupun pariwisata. Surabaya termasuk kota yang kaya akan bangunan bangunan lama. Tidak sekedar lama, tapi menyimpan nilai.

Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya

Tentu sayang jika bangunan lama yang bernilai itu kurang dan bahkan tidak dimanfaatkan. Belum lama walikota Surabaya Eri Cahyadi berdiskusi dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya untuk mencari terobosan terobosan dalam pemanfaatan aset sejarah berharga itu.

Muncul gagasan upaya pemanfaatan dan pengembangan cagar budaya dengan cara cara tematik. Prof. Purnawan Basundoro, Sekretaris TACB Kota Surabaya, yang juga hadir dalam pertemuan dengan walikota di ruang kerjanya di Balai Kota, menjelaskan apa yang dimaksud dengan cara tematik. Yaitu pola pengembangan yang tidak lepas dari akar sosial dan kultural historis dari suatu kawasan. Misalnya kawasan Pecinan.

Misalnya, pengembangan kawasan Pecinan. Yang dikembangkan adalah dengan menonjolkan unsur budaya Tionghoanya, bahkan sampai ke pilihan warna cat, seperti merah dan kuning, terang Purnawan Basundoro.

Dari pengembangan yang berbasis pada sejarah budaya dan sosial setempat (local social and cultural history) yang menjadi kekhasan kawasan itu akan memberi daya tarik publik yang selanjutnya dapat menumbuhkan geliat potensi ekonomi kreatif.

Tidak hanya memperkuat aksentuasi kekhasan Pecinan berdasarkan bangunan dan ornamen yang eksisting, tapi juga menambahkan ornamen pendukung yang serasi dengan lingkungan seperti pemasangan lampion dan pemasangan papan nama jalan yang dikondisikan. Misalnya design papan namanya dan tulisan nama jalan yang bersifat Chinese. Apalagi kalau aktivitas yang disuguhkan di kawasan ini bercorak Chinese sesuai dengan kawasannya (ala pecinan).

Pola pengelelolaan yang bersifat tematik ini sudah mulai diterapkan di kawasan Kembang Jepun dengan nama Wisata Pecinan Kembang Jepun. Tidak hanya jajanan, makanan dan minuman (kuliner), di sana juga tersaji hiburan, pembenahan lingkungan mulai: jalan, PJU, lampion, bangunan hingga becak wisata. Endingnya adalah pertumbuhan ekonomi.

[caption id="attachment_44415" align="aligncenter" width="788"] Foto udara kawasan Kota lama: Kampung Eropa dan Pecinan[/caption]

Banyak tema tema yang bisa diangkat di Surabaya berdasarkan kekhasan di suatu kawasan. Tidak jauh dari Kampung Pecinan terdapat Kampung Eropa (Belanda), lalu Kampung Melayu, Kampung Arab, Kampung Kebangsaan Peneleh dan ada lagi lainnya.

Semua kawasan ini memiliki bangunan lama dan lingkungan yang mendukung sesuai tema masing masing. Selama ini memang tidak semua bangunan lama sudah berstatus cagar budaya. Menurut Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, Dr. Retno Hastijanti, di Surabaya ini tercatat ada sekitar 250 Bangunan Cagar Budaya. Umumnya dalam kondisi yang relatif baik dan dimanfaatkan mulai dari perkantoran, tempat usaha hingga fasilitas publik.

Ia menambahkan bahwa ada juga bangunan bangunan yang tidak terawat dan itu adalah milik swasta. Karena bangunan bangunan yang kurang dan tidak terawat itu ukurannya besar dan luas, kondisinya sempat mencuri perhatian publik dan mempengaruhi pendapat publik yang seolah banyak bangunan cagar budaya tidak terawat.

Dalam hal pelestarian nilai nilai cagar budaya di kota Surabaya sebagaimana didiskusikan oleh Walikota Surabaya dan TACB Kota Surabaya, maka harus dapat diidentifikasi dengan jelas berdasarkan tema. Misal tema Cagar Budaya terkait peristiwa 10 November dan tema Cagar Budaya terkait arsitekturnya.

Dengan begitu, maka dalam melaksanakan pelestariannya bisa dibedakan, tegas Hasti, panggilan akrab Retno Hastijanti.

Jika pelestarian itu diarahkan pada tema pelestarian nilai nilai peristiwa 10 November, maka langkah langkah yang diambil adalah menentukan lokasi peristiwa itu dimana, sehingga bila ada restorasi dan rehabilitasi, mungkin material untuk proses restorasi pada bangunan bisa tidak harus asli. Namun, dari hasil restorasi itu (secara fisik) akan semakin memperkuat dan melanggengkan memori publik akan nilai nilai peristiwa yang terjadi di tempat itu.

Tetapi, untuk pelestarian cagar budaya karena nilai nilai arsitekturnya, maka tindakan restorasi dan rehabnya perlu pertimbangan lebih detail dan cermat terkait unsur unsur material bangunan, terang Hasti yang mengkomparasikan pelestarian bangunan atas pertimbangan nilai peristiwa dan nilai arsitektur.

Kampung Eropa

Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar), Wiwiek Widayati yang ditemui di Wisata Pecinan Kembang Jepun pada momen pembukaan Wisata Kuliner Kembang Jepun mengatakan bahwa setelah wisata Pecinan berjalan, maka tahap berikutnya adalah menata kawasan Wisata Kampung Eropa (Belanda).

Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya

Dari pengamatan lapangan bahwa Taman Sejarah yang berada di kawasan Kampung Eropa sudah mulai dibenahi dan ditata ulang. Taman Sejarah ini menurut sumber sumber sejarah adalah bekas taman kota dari Kota VOC Surabaya yang bernama Willemplein (Taman Raja Willem). Willemplein adalah utilitas publik yang letaknya bersebelahan dengan Balai Kota Surabaya (Stadhuis van Surabaya) dan gereja protestan pertama serta dermaga besar Surabaya (Groote boom).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Willemplein dan kota bertembok Surabaya (walled town) merupakan kawasan permukiman dengan segala infrastruktur dan kelengkapan kota setelah pendirian benteng di sisi utaranya. Benteng Belvedere, yang lokasi nya, ada di sebagian gedung JMP (menghadap sungai). Menurut Asia Maior Soerabaja 1900-1950, kota ini tercatat memiliki kelengkapan (organ) sebagai sebuah kota pada pada 1750-an sebagaimana dilukis oleh artis Johannes Rach dan didukung oleh keberadaan ilustrasi kota pada 1787.

Sebelum kota bertembok ini ada, terlebih dahulu telah berdiri sebuah pos dagang (trading post) VOC untuk menandai kehadiran perusahaan dagang Hindia Belanda di Surabaya. Oud Soerabaia menuliskan bahwa pada 1612 datanglah seorang penguasa VOC dari Batavia, Hendrik Brouwer, yang bertransaksi komoditas dengan seorang penguasa (pangeran) Surabaya di sebuah pelabuhan sungai. Lima tahun kemudian, 1617, datanglah Gubernur Jendral VOC Jan Pieterszoon Coen, untuk menindaklanjuti misi dagang Hendrik Brouwer. Kemudian di tepi barat Kalimas, berseberangan dengan Pecinan, dibangun sebuah pos dagang VOC.

Bermula dari sebuah pos dagang (trading post) untuk mendukung kepentingan perdagangan VOC, kemudian berkembang menjadi sebuah pos pertahanan (millitary post) yang selanjutnya disebut benteng karena disini ditempatkan seperangkat persenjataan militer berupa artileri. Mulanya sangat sederhana, tapi seiring dengan perkembangan, benteng yang kemudian bernama Belvedere ini semakin komplit. Formasi bentengnya pun semakin sempurna. Di setiap sudut benteng (empat sudut) dibentuk bastion lengkap dengan meriam meriam, di depan Kalimas terdapat gerbang masuk benteng.

GH Von Faber dalam buku Oud Soerabaia menuliskan bahwa penyerahan kekuasaan wlayah Ujung Timur Jawa (Java's Oost Hoek) dari Mataram kepada VOC jatuh pada 11 November 1743. Surabaya menjadi ibukota Ujung Timur Jawa. Pemilihan sebagai ikubota ini tidak lepas dari kesiapan Surabaya sebagai sebuah kota.

Jika dilihat ke belakang, sejak kedatangan penguasa VOC pada 1612 hingga penyerahan kekuasaan pada 11 November 1743, selama 131 tabun, kiranya sudah banyak perubahan dan perkembangan yang terjadi di Surabaya, perubahan itulah yang membentuk Surabaya sebagai sebuah kota yang secara administratif dan fungsi telah siap menjalankan fungsi ibukota.

Sebagai sebuah kota yang dibatasi oleh tembok, disanalah tumbuh dan berkembang segala isinya baik secara fisik maupun manusia dengan sistim pengelolaan kotanya. Surabaya semakin maju dan berkembang seiring dengan perubahan pemerintahan yang terjadi di penghujung abad 18. Yaitu dengan kebangkrutan VOC pada 1799 yang kemudian diganti dengan pemerintahan Hindia Belanda. Pada awal abad 19 ini, pengaruh Perancis dan Inggris sempat mewarnai Surabaya.

Meski abad telah berganti, kini di abad 21, bekas kota bertembok ini masih kentara. Struktur jalan jalannya sama. Hanya gedung gedung di jalanan yang selalu mengalami perubahan sesuai dengan tren dan gaya pada masing masing jaman. Kini, di abad 21, gaya arsitektur pada bangunan didominasi oleh langgam peninggalan abad 20 dengan kekhasan garis garis horizontal dan vertikal nya.

Tapi di area bekas Kota (Kampung) Eropa Surabaya ini, ternyata, masih menyimpan bebarapa bangunan dari abad 18 dengan ciri ciri fisik berupa: beratap tinggi meruncing ke atas, terdapat piron di ujung kiri dan kanan atas atap, tampak depan simetris dengan satu pintu di tengah yang diapit oleh dua jendela besar. Rumah langsung menghadap jalan.

Baca Juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya

Dalam penelusuran tim Begandring Soerabaia, di rumah rumah model seperti ini ditemukan struktur lantai segi enam yang terbuat dari bahan terakota seperti umumnya rumah rumah tradisional lokal dari era Majapahit di Trowulan.

Secara umum design rumah VOC di Surabaya ini sangat sederhana. Mereka dibangun ketika belum memiliki orientasi arsitektur. Mereka masih meniru gaya rumah lokal baik dari sisi bentuk dan bahkan sumber materialnya.

Sebagai referensi gaya arsitektur dari abad 18 ini dapat dilihat pada lithografi karya Johhaness Rach yang kemudian dilukis kembali oleh A Nelly, yang masterpiecenya tersimpan di Rijkmuseum, Amsterdam. Bangunan sederhana dari abad 18 itu masih berdiri di kota (Kampung) Eropa di Surabaya.

Tidak Cuma bangunan lama peninggalan dari abad 18 yang jumlahnya tinggal segelintir (rawan dibongkar karena alasan alasan ekonomi), tapi juga ada 3 unit bangunan dari abad 19 yang pada bagian terasnya ditopang oleh pilar pilar. Satu bangunan ada di pojokan jalan Rajawali-Branjangan, dan dua lainnya ada di jalan Mliwis. Ini bangunan langka.

Secara praktis bahwa di kampung Eropa, Surabaya, masih terdapat bangunan bangunan dari langgam abad 18, 19 dan tentu saja abad 20. Kawasan ini menjadi laboratorium hidup arsitektur perkotaan di Surabaya. Kawasan ini layak menjadi kawasan edukasi, ilmu pengetahuan, penelitian dan kajian ilmu arsitektur dan sipil.

Karenanya jika pengembangan dan pengelolaan kawasan Kota Eropa, tema yang bisa diangkat sudah jelas. Yaitu tema arsitektur perkembangan kota di bekas kawasan kota bertembok.

Penulis: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)

Editor: Pahlevi 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU