Parpol: Organisasi Paling Berbahaya

author Seno

- Pewarta

Senin, 04 Jul 2022 02:53 WIB

Parpol: Organisasi Paling Berbahaya

i

IMG-20220703-WA0063

[caption id="attachment_9445" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]

Optika.id - Sejak reformasi telah mengganti UUD45 menjadi konstitusi palsu UUD2002, partai politik bertumbuh menjadi organisasi yang makin berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika Mahfud MD pernah mengatakan bahwa malaikat bisa berubah menjadi iblis jika masuk ke jembatan timbang, maka partai politik bisa mengubah presiden menjadi petugas partai yang tunduk pada petinggi partai.

Baca Juga: Migrant Care Temukan Penggelembungan Suara 190 Persen di Dapil Jakarta II

Pada saat biaya politik makin tinggi, pejabat publik -di cabang eksekutif atau legislatif- kini harus tunduk pada para taipan yang menyediakan logistik bagi partai politik dan petinggi-petingginya untuk meraih kekuasaaan. Jika pejabat publik sekelas presiden pun bisa turun kelas menjadi petugas partai, maka publik pemilih hanya menjadi jongos politik setelah Pemilu berakhir. Tidak mengherankan jika pemilu selalu berakhir dengan kepiluan masal seperti antrian minyak goreng dan harga kebutuhan pokok yang makin membubung tinggi.

Prof. Noam Chomsky dari MIT bahkan mengatakan bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah Partai Republik AS saat di bawah Donald Trump, bukan Al Qaedah atau Hamas, apalagi FPI atau HTI. Sejak reformasi, walaupun pemerintahan Republik ini presidensial, peran Partai politik merambah ke hampir semua sudut kehidupan penting negeri ini. Hampir seperti CO2 yang mengotori atmosfer, jejak Partai Politik ada di semua tempat yang telah menjadi racun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia dahulu, organisasi yang paling berbahaya itu PKI, lalu kemudian Golkar menjelang reformasi. Saat ini, organisasi yang paling berbahaya adalah parpol berlogo bantheng sehingga hampir semua partai politik terpaksa mbantheng agar aman2 saja. Jika tidak berteman dengan bantheng, para elite parpol itu banyak yang akan disaduk dipenjarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sifat racun Parpol itu bisa dijelaskan secara berikut dengan menggunakan analogi gula dan sekolah. Baik sekolah maupun parpol itu sebenarnya dibutuhkan bagi kehidupan yang sehat. Seperti tubuh membutuhkan gula. Namun jika kadarnya berlebihan, bahkan memonopoli secara radikal, maka gula akan menyebabkan diabetes. Sekolah yang memonopoli sistem pendidikan juga telah merusak pendidikan dengan cara melemahkan keluarga dan masyarakat dalam mendidik warga muda.

Wajib belajar disamakan dengan Wajib Sekolah, padahal belajar bisa dilakukan di mana saja. Akibatnya pendidikan menjadi barang langka yang mahal. Partai politik saat ini telah memonopoli politik sehingga melumpuhkan partisipasi publik dalam menyediakan polity as public goods. Politik menjadi barang langka mahal yang hanya disediakan oleh parpol. Persis seperti monopoli radikal sekolah dalam Sisdiknas telah merusak education as public goods.

Baca Juga: Dirty Vote or Dirty Election System?

Sudah lama *persekolahan secara radikal memonopoli pendidikan* sejak persekolahan dikerdilkan menjadi sekedar instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin2 pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia dan patuh pada pemilik modal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Persekolahan sejak Orde Baru tidak pernah dirancang untuk mencerdaskann kehidupan bangsa, apalagi menjadi strategi untuk menyediakan syarat2 budaya bagi bangsa yang merdeka. Persekolahan hingga hari ini tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi fasilitas belajar merdeka sekalipun kini ada wacana Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Template kehidupan mahasiswa saat ini adalah lulus tepat waktu dengan predikat cum laude, lalu bekerja di BUMN atau MNC. No more no less.

Begitupun kebanyakan parpol saat ini. Saat politik sebagai kebajikan publik telah dikerdilkan menjadi jual beli kekuasaan, maladministrasi publik marak terjadi di mana berbagai aturan perundangan dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk melayani elite parpol dan para taipan. Seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, aturan ini membuka lebar proses penjongosan bangsa ini oleh para investor, terutama asing.

Partai-partai politik yang berkuasa bukannya memastikan Pilpres yang hemat biaya dan efektif merekrut pejabat publik yang kompeten, masyarakat justru digiring parpol untuk sibuk memikirkan sosok capres. Padahal dengan arsitektur legal saat ini, para capres sudah ditentukan oleh para elite parpol berkuasa dan para taipan. Dengan aturan presidential threshold saat ini, partai politik sudah membajak kedaulatan rakyat.

Baca Juga: Pilpres 2024 Ini Rumit, Janggal, dan Mahal

Contoh terakhir adalah kesombongan Efendi Simbolon dari partai Bantheng yang mengkritik La Nyalla Mattaliti Ketua DPD yang akhir2 ini bersuara keras mengkritisi PT 20%. Jika tidak terjadi penataan ulang perpolitikan nasional untuk mengakhiri monopoli parpol, maka kita akan menyaksikan kehidupan politik yang makin jauh dari kebajikan publik.

Gunung Anyar, 03 Juli 2022

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU