MK Tolak Judicial Review Presidential Threshold yang Diajukan La Nyalla

author Seno

- Pewarta

Jumat, 08 Jul 2022 22:42 WIB

MK Tolak Judicial Review Presidential Threshold yang Diajukan La Nyalla

i

images - 2022-07-08T154021.823

Optika.id - Akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak judicial review soal presidential threshold yang diajukan pimpinan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI termasuk Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti. Sehingga, tiket calon presiden pada tahun 2024 mendatang masih tetap dimiliki partai politik yang memiliki 20 persen kursi di DPR.

"Menyatakan permohonan Pemohon I (DPD-red) tidak dapat diterima. Menolak Permohonan Pemohon II (PBB-red) untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan MK, Kamis (7/7/2022).

Baca Juga: Ali Safa'at: MK Sudah Tak Punya Kepercayaan di Ruang Publik

Adapun judicial review presidential threshold itu terdaftar dalam Perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh pimpinan DPD RI yaitu AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, Nono Sampono, Dr. H. Mahyudin ST. MM dan Sultan Baktiar, serta Partai Bulan Bintang (PBB) diwakili oleh Ketua umumnya Prof Dr Yusril Ihza Mahendra.

Terkait putusan MK tersebut, Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti menilai hal itu adalah kemenangan sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini.

"Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki," kata La Nyalla dalam keterangannya, Jumat (8/7/2022).

La Nyalla menegaskan kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Namun, amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002 silam dikatakan LaNyalla mengikis kedaulatan rakyat.

"Dan kita menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Akibatnya tujuan negara ini bukan lagi memajukan kesejahteraan umum, tetapi memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi oligarki ekonomi dan oligarki politik," tutur La Nyalla.

La Nyalla menyoroti pernyataan Majelis Hakim MK yang menyebut Pasal 222 UU Pemilu konstitusional. Padahal, tegasnya, tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi.

"Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan," tukasnya.

"Karena Pasal 222 (UU Pemilu) adalah pasal penyumbang terbesar ketidakadilan dan kemiskinan struktural di Indonesia. Melalui pasal ini Oligarki Ekonomi mengatur permainan untuk menentukan pimpinan nasional bangsa ini, sekaligus menyandera melalui kebijakan yang harus berpihak kepada mereka," imbuh senator asal Jawa Timur itu.

La Nyalla memandang Pasal 222 yang membuat besarnya biaya koalisi partai politik dan biaya pilpres, menjadi pintu bagi oligarki ekonomi untuk membiayai semua proses itu. Hal itu dikatakannya menjadi alasan DPD RI menyalurkan aspirasi masyarakat melalui gugatan ke MK.

PBB Tak Bisa Usung Capres

Sementara itu, dalam permohonannya Yusril Ihza menggugat karena aturan itu tidak membuat PBB tidak bisa mengusung capres.

"Bahwa sebagai partai politik peserta pemilu, Pemohon II seharusnya memiliki hak konstitusional untuk mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun hak tersebut menjadi berkurang akibat berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menambahkan syarat perolehan suara sebanyak 20%. Hal yang mana bertentangan dengan apa yang ditentukan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945," ujar PBB dalam permohonannya.

Adapun DPD menyatakan:

Bahwa eksistensi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu nyatanya telah merugikan daerah dan semakin memperlebar kesenjangan antara daerah dan pusat. Bila menilik kembali sejarah, gagasan presidential threshold tersebut bukan merupakan isu baru, namun telah menjadi diskursus publik sejak tahun 2003-2004 saat bekerjanya komisi konstitusi hingga menjelang Pemilu tahun 2009.

Nasib La Nyalla-Yusril menyusul gugatan sebelumnya yang berguguran. Sebelumnya, harapan puluhan pemohon serupa kandas di palu hakim konstitusi. Di antaranya:

1. 5/PUU-XX/2022

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: Lieus Sungkharisma

Putusan MK: Tidak dapat diterima

2. 6/PUU-XX/2022

Baca Juga: Putusan MK Terkait Batas Usia Tidak Berlogika dan Tidak Konsisten

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemohon: Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, SH., MH, Fahira Idris, SE., MH

Putusan MK: Tidak dapat diterima

3. 7/PUU-XX/2022

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: Ikhwan Mansyur Situmeang

Putusan MK: Tidak dapat diterima

4. 66/PUU-XIX/2021

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: Ferry Joko Yuliantono SE AK

Putusan MK: Tidak dapat diterima

Baca Juga: Ini Harapan PDIP Soal Putusan MK Terkait Gugatan Usia Bakal Cawapres!

5. 68/PUU-XIX/2021

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: H. Bustami Zainudin S.pd., M.H, H. Fachrul Razi, M.I.P

Putusan MK: Tidak dapat diterima

6. 70/PUU-XIX/2021

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pemohon: Gatot Nurmantyo

Putusan MK: Tidak dapat diterima

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU