Meski Tak Mau, Anwar Usman Tetap Diminta Mundur dari Ketua MK!

author Seno

- Pewarta

Selasa, 21 Jun 2022 17:35 WIB

Meski Tak Mau, Anwar Usman Tetap Diminta Mundur dari Ketua MK!

i

images - 2022-06-21T103212.899

Optika.id - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengeklaim dirinya tidak perlu mundur dari jabatannya. Namun pendapat itu kalah suara dengan 8 hakim konstitusi lainnya, sehingga meski berat Anwar Usman harus legowo mundur dari Ketua MK dengan tempo paling lambat 9 bulan ke depan.

Kasus ini bermula saat Priyanto mengajukan judicial review UU MK soal perubahan masa jabatan hakim konstitusi. UU itu mengubah periode jabatan hakim konstitusi, dari 5 tahunan menjadi 15 tahun atau sudah mencapai 70 tahun. Atas perubahan itu, muncul masa transisi bagi hakim konstitusi aktif.

Baca Juga: Anwar Usman Resmi Diberhentikan Jadi Ketua MK

Muncullah Pasal 87 a dan 87 b.

Pasal 87 huruf a UU 7/2020:

"Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini."

Pasal 87 huruf b UU 7/2020:

Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun."

Nah, 8 hakim konstitusi sepakat menghapus Pasal 87 huruf a sehingga Anwar Usman dan Waka MK Aswanto harus mundur. Namun Anwar Usman menilai pasal 87 huruf a tidak perlu dihapus.

"Seharusnya Mahkamah menjatuhkan putusan dengan mendasarkan kepada setidaknya dua hal, yaitu: 1) penerapan prinsip atau kaedah pembentukan peraturan perundangan-undangan yang baik; dan 2) penerapan prinsip kepastian hukum yang adil, sekaligus prinsip kesamaan di hadapan hukum terhadap pemberlakuan sebuah norma," kata Anwar Usman yang tertuang dalam putusan MK, Selasa (21/6/2022).

Menurut Anwar Usman, norma di dalam suatu pembentukan peraturan perundang- undangan, adalah suatu sistem yang saling melengkapi satu sama lain. Tidak boleh di dalam pembentukan sebuah undang-undang ada norma yang justru menegasikan norma lainnya.

"Jika hal tersebut terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut keluar atau tidak sesuai dengan kaedah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik," jelasnya.

Demikian pula halnya terhadap kedudukan ketentuan peralihan suatu undang-undang. Ia tidak memiliki fungsi untuk menegasikan suatu norma di dalam ketentuan pokok UU dimaksud, melainkan hanya untuk menjaga proses transisional keberlakuan suatu UU, agar dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan dan kesinambungan, dari keberlakuan UU yang lama terhadap UU yang baru.

Anwar merujuk Butir 127 Lampiran UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adalah:

1. Menghindari terjadinya kekosongan hukum;

2. Menjamin kepastian hukum;

3. Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

4. Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

"Dengan demikian telah jelas, bahwa ketentuan peralihan, tidak boleh menegasikan ketentuan pokok yang telah mengatur dengan jelas dan rinci, mengenai keberlakuan suatu rumusan norma," ujar Profesor Kehormatan Unisulla Semarang itu.

Selain itu penerapan prinsip kepastian hukum yang adil sekaligus prinsip kesamaan di hadapan hukum, terhadap pemberlakuan sebuah norma, harus diterapkan secara bersama dan sekaligus dalam pengujian Pasal 87 huruf b UU 7/2020. Jika ketentuan peralihan di dalam UU a quo tetap diberlakukan, maka jelas terjadi contradictio interminis, atau pertentangan di antara norma-norma di dalam suatu UU, yang berdampak kepada terjadinya ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Di samping itu, bisa membawa dampak negatif lain yaitu menciptakan kerugian konstitusional warga negara termasuk Pemohon.

"Dalam konteks ini syarat minimal usia 55 tahun bagi Hakim Konstitusi telah diatur secara jelas dan tegas (expressis verbis) di dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d juncto Pasal 23 ayat (1) huruf c UU No. 7/2020. Sehingga dengan demikian, ketentuan peralihan Pasal 87 huruf b telah secara jelas dan nyata menegasikan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d juncto Pasal 23 ayat (1) huruf c UU No. 7/2020," urai Anwar Usman.

Baca Juga: Apa Saja Kemungkinan Putusan Terhadap MK?

Terkait dengan permohonan pengujian Pasal 87 huruf a UU No. 7/2020 menyangkut masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Konstitusi, karena jabatan dimaksud merupakan bagian dari hak memilih dan dipilih dari para Hakim Konstitusi, maka sudah selayaknya dan sewajarnya, jika persoalan tersebut dikembalikan kepada pemangku hak, yakni para Hakim Konstitusi.

"Meskipun dapat dipahami bahwa kehendak para pembentuk UU berkeinginan untuk menjaga proses transisional kepemimpinan di Mahkamah Konstitusi dapat berjalan dengan baik dan lancar, namun keinginan tersebut harus tetap dikembalikan kepada pemangku hak. Sedangkan periode jabatan Ketua dan Wakil Ketua selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (3a) UU 7/2020, dapat dilaksanakan setelah dilakukannya proses pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi yang telah memenuhi syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d juncto Pasal 23 ayat (1) huruf c UU No. 7/2020," papar Anwar Usman yang merupakan hakim konstitusi dari unsur Mahkamah Agung itu.

Dengan demikian proses transisional kepemimpinan di MK dapat berjalan dengan baik dan lancar, tanpa mengurangi hak memilih dan dipilih yang dimiliki oleh sembilan Hakim Konstitusi, yakni 9 hakim konstitusi yang telah memenuhi syarat sebagaimana diuraikan pada ketentuan peralihan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 di atas.

Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, maka Anwar Usman menilai permohonan Pemohon terkait dengan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 dapat dikabulkan secara bersyarat yakni sepanjang dimaknai bahwa:

Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan terpilihnya Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru oleh sembilan Hakim Konstitusi, yang telah memenuhi syarat sebagai Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d juncto Pasal 23 ayat (1) huruf c UU No. 7/2020".

Berikut daftar masa jabatan hakim MK saat ini:

1. Anwar Usman berakhir sampai 6 April 2026

2. Aswanto sampai 21 Maret 2029.

3. Arief Hidayat sampai 3 Februari 2026

Baca Juga: Anwar Usman Terbukti Bersalah, Putusan Segera Disahkan!

4. Wahiduddin Adams sampai 17 Januari 2024

5. Suhartoyo sampai 15 November 2029

6. Manahan Sitompul sampai 8 Desember 2023

7. Saldi Isra sampai 11 April 2032

8. Enny Nurbaningsih sampai 27 Juni 2032

9. Daniel Pancastaki sampai 15 Desember 2034

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU