Matinya Sang Tulodho

author optika

- Pewarta

Kamis, 25 Nov 2021 22:50 WIB

Matinya Sang Tulodho

i

Untitled-2

[caption id="attachment_8771" align="alignnone" width="200"] Oleh: Menur Kusumaningtyas, Pemerhati Pendidikan[/caption]

Salah satu yang hebat dari penerapan kapitalis di negara ini adalah matrealisasi pendidikan yang dirusak bukan oleh para mafia dari luar, tapi dari pendidik itu sendiri.
Maka yang terjadi adalah, mendidik bukan lagi menjadi alasan utama dalam mencerdaskan bangsa, tetapi bagaimana memanfaatkan kebutuhan siswa akan ijazah, dan memerasnya di kesempatan lain.

Baca Juga: FSGI Koreksi Visi Misi Capres Terkait Pendidikan

Di bulan kenaikan kelas atau wisuda, para pendidik panen parcel, baik dipesan secara eksplisit atau bersedia menerimanya secara implisit. Sebuah tradisi budaya yang dikecap sedari saya duduk di bangku Sekolah Dasar hingga di Perguruan Tinggi. Ironisnya, ajang pameran hadiah itu juga diidap di sekolah berbasis agama.

Dan mungkin, pada dasarnya kita tidak pernah pandai dalam apapun. Karena generasi ini, berada di genggaman orang yang rakus, impoten dan oportunis.
Banyak tulisan-tulisan ber-uang mereka hanya sekedar kedok. Mungkin hasil repetisi, atau re-olah yang dijual, jadi uang, jadi mobil, jadi besar, jadi tinggi kemudian memandang rendah rekan profesinya yang memilih duduk belajar mengatasi ketidak mengertian siswa-siswanya dan meloloskan satu tulisan dalam waktu yang lama.

Lalu profesi apalagi yang lebih mulia dan lebih tinggi dari seorang guru? Hanya kedunguan yang bisa membiarkan kemuliaan ini ditukar dengan hal rendah, yang mungkin membunuh nurani, kemerdekaan dan kreativitas.
Saya, jujur terusik kalau panggung pendidikan macam ini tidak akomodatif. Dan dari dulu, birokrasi selalu penuh dengan segenap intrik dan politik intern yang berpusat pada putaran ambisi dan nafsu pribadi. Di sana lebih banyak masalah ketimbang ide. Lebih banyak musuh daripada berjuang bersama.
Suatu pertanda, ketika pendidikan kita yang menerapkan budaya Ing ngarso sung tuladha, sudah punah dimakan matrealisasi pendidikan. Guru bukan lagi digugu, tapi mengajak tawuran. Guru bukan lagi mengajar dengan hati, tapi demi uang. Guru belum bisa ditiru, karena masih membela yang bayar.

Baca Juga: Sivitas Akademika Bukan Sembarang Orang, Presiden Bisa Tersungkur

Pelecehan besar-besaran terjadi justru di bilik moral bernama pendidikan.
Rasa hormat terdidik hilang ketika wajah guru tercoreng dengan menjual ilmu demi jabatan. Tangan guru tidak lagi dicium sbg rasa hormat, tapi --kalau perlu--dilupakan sosoknya. Menghindar jika bertatap, sering merasa tidak kenal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pendidikan moral hanya retorik, pendidikan agama cuma monopoli calon penghuni surga, tutur bahasa yang baik hanya dipakai sebagai pengantar surat. Budaya? etika? mati suri.
Dimanakah wajah pendidik yang ing madyo mangun karso?
Masihkah ada, sosok pemberi ilmu yang tut wuri handayani?
Jika ada, Selamat Hari Guru, di pundak itu saya menaruh mimpi.

Baca Juga: Debat Final Capres Bahas Isu Pendidikan, JPPI: “Semuanya Kosong”

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU