Masih Adakah Ruang Aman di Institusi Pendidikan?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Rabu, 19 Jan 2022 21:35 WIB

Masih Adakah Ruang Aman di Institusi Pendidikan?

i

Masih Adakah Ruang Aman di Institusi Pendidikan?

Optika.id - Banyaknya kekerasan seksual yang terungkap ke publik akhir-akhir ini memang mengkhawatirkan. Diantara kasus yang mencuat tersebut, kekerasan seksual justru datang dari kampus atau institusi pendidikan yang seharusnya menjaga marwah kebudayaannya dan adabnya. Mengapa hal tersebut terjadi?

Menanggapi hal tersebut, Rainy Hutabarat Komisioner Komnas Perempuan memberikan pernyataannya bahwa hingga kini masih banyak kasus kekerasan seksual yang belum terungkap ke publik. Bak gunung es, tidak semua kasus kekerasan tersebut dilaporkan. Apalagi, pihak kampus justru menganggap perkara semacam itu sebagai tabu aib yang mesti ditutupi.

Baca Juga: Femisida Masih Dimaklumi Masyarakat Karena Stigma dan Status Korban

"Belum semua dilaporkan dan juga tak semua terungkap secara publik termasuk oleh media massa. Ketika diberitakan oleh media massa, masyarakat terkejut karena kampus dipandang sebagai ruang moralitas dan pendidikan, serta lembaga terhormat di mata publik,"kata Rainy ketika dihubungi, Rabu (19/1/2022).

Komnas Perempuan pada tahun 2020 mencatat ada sebanyak 2.945 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi pada perempuan dimana 27% di antaranya terjadi di lingkungan kampus. Selain dosen, pelaku kekerasan seksual berasal dari kalangan petinggi kampus dan mahasiswa. 

Menurut Rainiy, kasus kekerasan seksual tersebutu sering berulang sebab langgengnya impunitas pejabat kampus. Jika korbannya adalah mahasiswa dan pelakunya dosen, perguruan tinggi cenderung memilih menutupi kasus demi menjaga nama baik lembaga dan integritas dari para pengajar.

Untuk menjaga nama baik kampus, korban dikeluarkan dari kampus atau dikenakan sanksi akademis misalnya tidak boleh mengikuti ujian, dipersulit proses pendidikannya, diancam tidak diluluskan sehingga korban takut melapor dan memilih untuk bungkam. Hal ini merupakan bentuk relasi kekuasan lembaga pendidikan dengan individu korban.

Hasil riset kemudian menunjukkan bahwa pihak kampus kerap mengeluarkan respons janggal saat menangani laporan kekerasan seksual. Misalnya respon dari Rektor IAIN Pontianak Syarif, yang malah mempertanyakan kasus kekerasan seksual yang baru dilaporkan setahun setelah peristiwa terjadi. 

Rainy mengaku tidak heran banyak perguruan tinggi, termasuk kampus-kampus berbasis agama, yang terkesan malah menyalahkan korban. Itu karena berkembangnya budaya yang menganggap perempuan sebagai "penggoda syahwat". 

Baca Juga: Tak Hanya Perempuan, Kaum Laki-Laki juga Wajib Belajar Literasi TPKS

"Rape culture yang berakibat blaming the victim. Masyarakat kita cenderung menyalahkan perempuan korban. Perempuan penyebab terjadinya kekerasan seksual. Stereotipe negatif hawa sang penggoda. Busana, dandanan, pulang larut, antara lain dituduhkan kepada perempuan korban," imbuh Rainy.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Rainy juga menilai jika sejauh ini aparat penegak hukum masih memandang kasus kekerasan seksual dengan kacamata kuda. Yakni polisi kerap enggan menangani kasus kekerasan seksual apabila tidak disertai dengan saksi dan bukti fisik yang jelas. Akibatnya, banyak kasus kekerasan seksual yang menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang jelas.

Di antara kasus tersebut misalnya kasus kekerasan seksual berupa payudara korban dipegang atau rayuan bernuansa seksual yang tentunya tidak ada bukti saksi maupun fisik. Kasus-kasus yang seperti itu biasanya mengalami hambatan dalam pengaduan bahkan menemui jalan buntu.

Dengan terbitnya Permendikbud-Ristek 30/2021, Rainy berharap semua perguruan tinggi segera menyusun SOP untuk mencegah kejahatan seksual di lingkungan kampus. Sebagaimana isi regulasi itu, SOP harus berpegangan pada kepentingan terbaik korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. 

Baca Juga: Lawan Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan Indonesia

"Juga harus independen dan ada jaminan ketidakberulangan. Lembaga perguruan tinggi sudah seharusnya memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual agar kampus menjadi ruang aman bagi perempuan atau kawasan bebas dari kekerasan," tegas Rainy. 

Reporter: Uswatun Hasanah

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU