Lembaga Survei Jadi Bisnis Baru Jelang Pemilu 2024, Ini Bedanya Survei 'Abal-Abal' atau Tidak?

author Jenik Mauliddina

- Pewarta

Minggu, 06 Mar 2022 02:04 WIB

Lembaga Survei Jadi Bisnis Baru Jelang Pemilu 2024, Ini Bedanya Survei 'Abal-Abal' atau Tidak?

i

Gambar Ilustrasi (Dok: Antara)

Optika.id, Surabaya - Pada model Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung seperti yang diterapkan di Indonesia saat ini, Lembaga survei sudah tak asing di telinga masyarakat. Menjelang tahun pemilu 2024 mendatang, muncul berbagai lembaga survei yang merilis hasil survei atau jajak pendapat mereka. 

Jika Anda membaca hasil survei elektabilitas tokoh politik, survei kepuasan pemerintahan, dan sebagainya, seberapa jauh Anda mempercayainya? Apakah Anda melihatnya sebagai sebuah panduan yang bisa dipercaya atau meragukannya?

Baca Juga: PKS Usai KPU Memutuskan Hasil, Pertandingan Belum Selesai!

Tahukah anda tak semua survei atau jajak pendapat bisa dipercaya karena diduga sebagian survei merupakan pesanan. Sehingga hasilnya disesuaikan dengan kepentingan pemesannya pula.

Pengamat Politik Universitas Airlangga, Ucu Martanto menyampaikan pandangannya terhadap hal tersebut. Ia menilai sebenarnya lembaga survei memiliki banyak kemanfaatan seperti terkait pengkandidatan seseorang. Sayangnya, ada sisi negatif yang menyertai.

"Menjadi kepala daerah, presiden itu umumnya membutuhkan survei untuk mengukur seberapa kuat mereka. Ketika sudah ditetapkan sebagai calon, survei digunakan untuk melihat pergerakan preferensi pemilih misalnya tingkat elektabilitas. Lembaga survei diperlukan untuk melihat seberapa efektif kampanye dilakukan dan exit poll-nya," jelasnya saat dihubungi Optika.id, Sabtu (5/3/2022).

Munculnya Bisnis Baru dan Survei Pesanan

Karena memiliki kemanfaatan yang besar, Ucu Martanto yang juga Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu memandang, lembaga survei kini dijadikan ruang bisnis baru dan banyak lembaga survei yang tumbuh dan menjamur untuk kepentingan kandidat-kandidat tertentu.

"Di sini letak permasalahannya, lembaga survei itu bisa dijadikan alat entah partai politik, dewan, kepala daerah, presiden untuk menjustifikasi ditujukan kepada Publik terkait misalnya, perolehan suara, popularitas. Yang itu bisa saja mengatrol preferensi pilihan pemilih," ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

[caption id="attachment_17929" align="alignnone" width="300"] Munculnya Bisnis Baru dan Survei Pesanan[/caption]

Ia menambahkan, hasil survei yang disebarluaskan ke publik, Jika dilakukan dengan baik, benar, dan bertanggung jawab itu tidak masalah. Hal yang menjadi persoalan di Indonesia, belum memiliki otoritas yang menjustifikasi hasil survei.

Tidak semua lembaga survei terdaftar sebagai anggota asosiasi lembaga survei Indonesia. Di asosiasi tersebut ada dewan etiknya untuk menilai lembaga tersebut. Apakah sudah melakukan dengan baik atau tidak. Dan menjatuhi hukuman jika melanggar kode etik.

Memeriksa Keabsahan Survei, 'Abal-Abal' atau Tidak

Menurut Ucu, Tidak semua masyarakat Indonesia mampu membaca hasil survei dengan benar. Tidak semua orang Indonesia mampu memeriksa apakah survei tersebut sudah sah sesuai kaidah ilmiah atau survei 'pesanan' (abal-abal).

Baca Juga: Di Jepang, Prabowo Unggul dari Anies dan Ganjar

"Yang juga persoalan karena ketidaktahuan masyarakat ini, sehingga lembaga survei bisa memanipulasi data dan memanipulasi proses untuk kepentingan yang memberikan modal karena bisa saja mereka dipekerjakan seseorang," ungkap Ucu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

[caption id="attachment_17931" align="alignnone" width="300"] Memeriksa Keabsahan Survei, 'Abal-Abal' atau Tidak[/caption]

Secara kaidah sebuah survei atau jajak pendapat memiliki scrub koresponden. Tingkat kepercayaan dan margin of error sangat berhubungan satu sama lain dan bisa diukur. Jika tingkat kepercayaan rendah, dan margin error-nya tinggi orang bisa membaca secara ilmiah. Bahwa survei tersebut bisa dipercaya atau tidak.

"Lebih dalam lagi bisa dilacak dan diperiksa dari pertanyaan yang diajukan ke responden. Bagaimana model pertanyaan, karena bisa saja pertanyaan itu didesain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Sesuai permintaan pemesan," tuturnya.

Peran Penting Media Massa dan Masyarakat

Ucu Martanto menekankan, Dalam persoalan tidak adanya lembaga yang memberikan asesmen terhadap lembaga survei, membuat peran penting media massa, akademis, Non-Governmental Organization (NGO) atau LSM dan masyarakat untuk menjadi pengawas dan memberikan pencerahan terhadap lembaga survei yang bermasalah.

Baca Juga: Optimis Satu Putaran, Relawan Konco Prabowo Siap Dukung Ekonomi Jawa Timur Tumbuh

Ia mengimbau masyarakat harus skeptis dalam artian tidak mudah langsung 'menelan' terhadap suatu rilis survei. Untuk bisa mempercayai harus mencari tahu lembaga tersebut milik siapa dan terafiliasi dengan siapa saja.

"Masyarakat umum Jika ada rilis hasil survei dibaca aja angkanya, tapi harus skeptis. Lihat dulu, apa pernah track record sebelum melakukan survei, apabila lembaga tersebut baru pertama melakukan survei ya jangan percaya lebih dahulu. Lembaga survei itu sering melakukan survei, dilihat seberapa akurat hasil survei dan siapa saja dibalik surveinya," imbaunya. 

Reporter: Jenik Mauliddina

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU