Optika.id, Surabaya – Pada model Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung seperti yang diterapkan di Indonesia saat ini, Lembaga survei sudah tak asing di telinga masyarakat. Menjelang tahun pemilu 2024 mendatang, muncul berbagai lembaga survei yang merilis hasil survei atau jajak pendapat mereka.
Jika Anda membaca hasil survei elektabilitas tokoh politik, survei kepuasan pemerintahan, dan sebagainya, seberapa jauh Anda mempercayainya? Apakah Anda melihatnya sebagai sebuah panduan yang bisa dipercaya atau meragukannya?
Tahukah anda tak semua survei atau jajak pendapat bisa dipercaya karena diduga sebagian survei merupakan pesanan. Sehingga hasilnya disesuaikan dengan kepentingan pemesannya pula.
Pengamat Politik Universitas Airlangga, Ucu Martanto menyampaikan pandangannya terhadap hal tersebut. Ia menilai sebenarnya lembaga survei memiliki banyak kemanfaatan seperti terkait pengkandidatan seseorang. Sayangnya, ada sisi negatif yang menyertai.
“Menjadi kepala daerah, presiden itu umumnya membutuhkan survei untuk mengukur seberapa kuat mereka. Ketika sudah ditetapkan sebagai calon, survei digunakan untuk melihat pergerakan preferensi pemilih misalnya tingkat elektabilitas. Lembaga survei diperlukan untuk melihat seberapa efektif kampanye dilakukan dan exit poll-nya,” jelasnya saat dihubungi Optika.id, Sabtu (5/3/2022).
Munculnya Bisnis Baru dan Survei Pesanan
Karena memiliki kemanfaatan yang besar, Ucu Martanto yang juga Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu memandang, lembaga survei kini dijadikan ruang bisnis baru dan banyak lembaga survei yang tumbuh dan menjamur untuk kepentingan kandidat-kandidat tertentu.
“Di sini letak permasalahannya, lembaga survei itu bisa dijadikan alat entah partai politik, dewan, kepala daerah, presiden untuk menjustifikasi ditujukan kepada Publik terkait misalnya, perolehan suara, popularitas. Yang itu bisa saja mengatrol preferensi pilihan pemilih,” ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

Ia menambahkan, hasil survei yang disebarluaskan ke publik, Jika dilakukan dengan baik, benar, dan bertanggung jawab itu tidak masalah. Hal yang menjadi persoalan di Indonesia, belum memiliki otoritas yang menjustifikasi hasil survei.
Tidak semua lembaga survei terdaftar sebagai anggota asosiasi lembaga survei Indonesia. Di asosiasi tersebut ada dewan etiknya untuk menilai lembaga tersebut. Apakah sudah melakukan dengan baik atau tidak. Dan menjatuhi hukuman jika melanggar kode etik.