Jual-beli Jabatan Catut Sejumlah Kepala Daerah

author Seno

- Pewarta

Senin, 06 Sep 2021 21:09 WIB

Jual-beli Jabatan Catut Sejumlah Kepala Daerah

i

IMG-20210906-WA0023

Optika, Jakarta - Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari pada akhir Agustus lalu, merupakan tangkapan kepala daerah untuk yang ketiga kalinya sepanjang tahun 2021. Uniknya ketiga kepala daerah itu terjerat kasus yang sama, yakni jual beli jabatan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meringkus Bupati Tantri bersama sang suami Hasan Aminudin dan delapan orang lain, yang diduga terlibat kasus seleksi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo.

Sebelumnya kasus yang sama menjerat Wali Kota Tanjungbalai Sumatra Utara, M. Syahrial. Pemecah rekor Muri kategori Wali Kota Termuda itu ditangkap setelah diduga terlibat lelang jabatan dengan barang bukti suap Rp. 200 juta. Dalam kasusnya, bahkan Syahrial berupaya menyuap penyidik KPK, Robin Pattuju.

Pada Mei, giliran Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat yang diringkus. Kala itu KPK bersama Badan Reserse Kriminal Polri melakukan OTT karena Novi diduga menerima hadiah atau janji terkait pengurusan promosi atau jabatan di Pemkab Nganjuk.

Dari pemeriksaan, diduga para camat memberikan sejumlah uang kepada Bupati Nganjuk melalui ajudannya. Uang itu merupakan upeti terkait mutasi dan promosi jabatan serta pengisian jabatan di tingkat kecamatan.

Novi bukan merupakan bupati Nganjuk pertama yang berurusan dengan KPK karena terlibat suap jual beli jabatan. KPK juga pernah menangkap Bupati Nganjuk periode 2013-2018, Taufiqurrahman, atas kasus korupsi yang sama, yakni jual beli jabatan. Saat itu, Taufiqurrahman melakukan jual beli jabatan dengan nilai Rp 1,3 miliar. Ia diringkus KPK pada 2017, yang sekaligus menamatkan karir politiknya.

Sederet nama kepala daerah lain, silih berganti jadi tangkapan KPK dengan kasus yang serupa. Tahun 2017, Bupati Klaten Sri Hartini ditangkap karena jual-beli jabatan di Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten. Dari rumah dinas Bupati Klaten, penyidik menyita uang Rp 2 miliar yang disimpan dalam dua kardus serta 5.700 dollar AS dan 2.035 dollar Singapura.

Uang tersebut dikumpulkan dengan besaran yang bervariasi, mulai dari Rp 50 juta untuk satu jabatan eselon IV hingga ratusan juta rupiah untuk jabatan dengan eselon lebih tinggi.

Memasuki 2018, giliran Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko ditangkap karena diduga menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti sebesar Rp 275 juta.

Uang yang diberikan oleh Inna itu, bermaksud agar Nyono, selaku bupati, menetapkan Inna sebagai Kepala Dinas Kesehatan definitif.

Sumber uang Inna juga tidak main-main. Ia menyuap Nyono dengan uang hasil kutipan jasa pelayanan kesehatan dana kapitasi BPJS dari 34 puskesmas di Jombang. Dana tersebut telah dikumpulkan oleh Inna sejak Juni 2017.

Di tahun yang sama, KPK menangkap Bupati Cirebon, Jawa Barat, Sunjaya Purwadisastra dengan dugaan jual beli sekitar 400 jabatan di pemerintahan Kabupaten Cirebon.

Dalam OTT nya, KPK menyita uang tunai Rp 385 juta dan bukti transfer Rp 6,4 miliar yang diduga merupakan suap kepada Sunjaya. Berdasarkan temuan KPK, Sunjaya diduga melakukan jual-beli jabatan dan menerima setoran dari pengusaha.

Pada 2019, KPK meringkus Bupati Kudus, Jawa Tengah, Muhammad Tamzil dengan dugaan suap pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus di tahun yang sama.

Tamzil diduga menerima uang untuk memuluskan nama tertentu untuk menjabat sebagai kepala dinas. Tim penyidik KPK pun menyita barang bukti berupa uang Rp. 250 juta rupiah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

*Jual-Beli Jabatan yang Berulang jadi Ladang*

Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Aribowo kepada optika.id mengatakan, berulangnya kasus korupsi terkait jual beli jabatan menunjukkan ketidak matangan kepala daerah atas amanah yang mereka emban. "Sebagai politisi dengan jabatan politik yang strategis, jual-beli jabatan akan bisa menggoda kapan saja," buka Aribowo.

Justru, menurut Ari pada tahapan godaan macam itulah, kematangan politisi sedang diuji. "Politisi yang ulung, mengerti bagaimana bersikap demokratis. Ia bisa memberi kesempatan orang-orang berprestasi bersaing. Itu bisa membuahkan iklim kerjasama yang berintegritas. Kalau sudah terbentuk iklim itu, dukungan bawahan kepada dirinya, tentu terbentuk dengan niscaya," Ujar pria yang pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dua periode itu.

Terkait kasus di Probolinggo, Ari menyorot bahwa jual-beli jabatan yang dilakukan, merupakan upaya mempertahankan dinasti politik keluarga. Upaya itu diyakini membutuhkan energi besar dan akhirnya berimbas pada jual-beli jabatan.

Sebenarnya, dalam konteks pengisian jabatan tertentu, sudah terdapat sistem yang dirancang sedemikian rupa dengan parameter yang cukup jelas.

Semisal, standar kompetensi, sistem lelang, serta melibatkan KASN. Tapi, tidak semua jenjang dapat diawasi sementara kewenangan kepala daerah sangat besar untuk menentukan pejabat di daerahnya.

Apa pun sistemnya, selalu ada kelebihan dan kekurangan. Tidak ada suatu sistem yang sempurna, tinggal manusia yang menjalankan. Kuncinya, integritas, tutup Ari.

Miko Saleh, ketua East Java Corruption and Juducial Watch Organitation (ECJWO) menilai secara umum bahwa pemilihan jabatan di daerah, seperti kepala dinas atau pimpinan tinggi masih menyisakan banyak masalah.

Pemilihan pejabat di tingkatan itu kerap kali dijadikan ajang untuk mendapatkan pundi-pundi uang bagi kepala daerah.

Dalam pemilihan pejabat di tingkat desa pun, seperti Pjs kepala desa, terbuka celah untuk memperjual belikan jabatan. Karena, di tingkat itu tidak ada peraturan yang ketat dan pengawasan yang intens. Hal itu juga yang kerap ditemui ECJWO di Jawa Timur.

Masalah utama di daerah itu, birokrasi yang masih menerapkan praktek sapi perah. Kepala daerah mudah mengumpulkan logistik dari situ. Jadi, masih banyak muncul kasus mulai dari jual beli jabatan, setoran, dan juga bagi-bagi proyek, ujar Miko.

Sementara itu, sistem pengawasan di daerah juga tidak berjalan semestinya. Pengawasan dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah belum efektif. Akibatnya, sistem yang sudah dibangun rawan untuk dibajak kepala daerah untuk kepentingannya sendiri. (fak)

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU