Investasi Baterai Lithium Semakin Gencar, Ini Dampaknya ke Lingkungan

author optikaid

- Pewarta

Kamis, 30 Sep 2021 10:11 WIB

Investasi Baterai Lithium Semakin Gencar, Ini Dampaknya ke Lingkungan

i

Baterai Lithium

Optika, Karawang - Industri baterai lithium Indonesia sudah masuk, pertengahan September lalu dua perusahaan Korea Selatan (Hyundai dan LG) mendirikan pabrik baterai lithium di Karawang.

Menyusul investasi tersebut, dua perusahaan China Shenzhen Chengxin Lithium Group dan Tsingshan Holding Group siap menjadi gurita investor baterai lithium Indonesia yang akan dibangun di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah.

Kawasan Industri Morowali memang sudah menjadi kawasan industri baru tempat dibangunnya pabrik-pabrik baru untuk menggenjot ekonomi Indonesia.

Kini, lokasi tersebut menjadi tempat gelonggongan dana dari para investor terkemuka. Nama Tsingshan Holding Group bukanlah nama asing dalam investasi di Indonesia.

Ia juga menjadi buah bibir pasar nikel dunia karena berhasil menggenjot produksi senyawa nikelnya setelah memproduksi di Indonesia, mereka menjadi investor utama smelter nikel di Indonesia.

Rupanya, smelter nikel ini juga menjadi kunci pengembangan industri baterai lithium atau baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia, seperti dikutip dari South China Morning Post, Kamis (30/9/2021).

Sayang, baru saja Indonesia gembira untuk kemajuan negara, banyak yang mencacat industri baterai lithium Indonesia, Banyak pakar lingkungan memperingatkan proyek tersebut berbahaya. Ternyata, diperlukan penanganan yang hati-hati agar tidak merusak lingkungan dan komunitas sekitar.

April lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan, mengatakan jika Indonesia sudah berbicara dengan Tsingshan dan Fortescue Metals Group dari Australia guna membangun kawasan industri baru untuk tempat peleburan bijih besi, bijih nikel dan tembaga.

Ketiga logam ini ternyata penting guna menyediakan kebutuhan global untuk teknologi baru. Rencananya, smelter ini akan berada di dekat pembangkit listrik hidropower 11 ribu megawatt di Provinsi Kalimantan Utara.

Saat ini smelter ini dibangun oleh perusahaan konstruksi energi China, PowerChina, serta perusahaan Indonesia Kayan Hydro Energy.

Fase pertama proyek pembangkit listrik hidropower ini diharapkan selesai pada 2025 mendatang.

Menariknya, tambang Australia Fortescue Metals yang menyumbang bijih besi Australia ke China, menjelaskan mereka tidak bekerjasama dengan Tsingshan untuk membangun estate industri baru, terutama pabrik smelter.

Fortescue melalui anak perusahaannya, Fortescue Future Industries akan membantu Indonesia membangun lebih banyak proyek energi hijau, contohnya proyek hidropower negara serta sumber geothermal.

Sesuai kesepakatan yang disepakati kedua negara tahun lalu, Fortescue Future Industries mengatakan akan melakukan studi kecocokan untuk mengembangkan lebih banyak proyek hijau bebas karbon.

Perusahaan itu juga akan membangun pembangkit listrik geothermal 25 Gigawatt (GW) dan pembangkit listrik 60 GW di Papua dan Kalimantan Timur dan Utara.

Proyek-proyek ini akan menguntungkan lebih banyak bisnis lokal dan rantai suplai mereka serta mendulang ekspor Indonesia, klaim perusahaan Australia itu.

"FFI berupaya mengambil posisi pemimpin dalam energi hijau dan industri produk hijau, menguatkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja saat kita berpindah dari bahan bakar fosil," ujar CEO Fortescue Future Industries di This Week in Asia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menarik investor

Scott Ye, direktur PT Indonesia Weda Bay Industrial Park, mengatakan rencana membangun pabrik logam di Kalimantan masih "didiskusikan".

Bijih nikel yang ditambang dari tambang itu sebagaimana yang ditambang dari tambang nikel lain, Tambang Industri Morowali, kini digunakan besar-besaran untuk produksi stainless steel.

Namun Indonesia akan menggunakannya untuk produksi baterai lithium tahun 2024. Membangun smelter dekat pembangkit listrik hidropower artinya Tsingshan bisa mencapai tujuannya mengoperasikan tambang nol-karbon.

Dengan ini, tuntutan untuk menjadi pembuat kendaraan elektrik global akan terpenuhi. Tsingshan bulan lalu umumkan mereka akan membangun 2000 megawatt pembangkit listrik solar dan angin di Indonesia dalam 5 tahun ke depan.

Sampai saat ini, smelter nikel di Indonesia bergantung pada energi dari pembakaran batubara.

"Ada banyak permintaan (untuk nikel hijau) dari baik perusahaan EV China atau negara lain. Namun ada juga banyak tekanan dari pemerintah, contohnya China, untuk mengurangi emisi karbon dioksida," ujar Ye saat webinar yang diprakarsai Klub Koresponden Luar Negeri Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Elon Musk, CEO Tesla, tahun lalu mengatakan perusahaannya akan memberikan "kontrak raksasa" untuk pembuat baterai yang dapat menyediakannya dengan nikel ramah lingkungan.

Indonesia sudah menargetkan untuk mendapatkan kontrak itu, nikel kembali dicari berkat pasar EV tapi juga karena AS dan negara lain mencari cara mengamankan rantai suplai logam penting itu, mengurangi ketergantungan pada satu penyuplai saja.

Indonesia sendiri memiliki sumber daya nikel terbesar di dunia yang diharapkan bertahan lebih dari 30 tahun.

Indonesia dulunya adalah produsen nikel terbesar sampai mendapat larangan ekspor bijih nikel tahun lalu untuk mengembangkan rantai suplai yang lengkap.

Kini tantangan yang dimiliki Indonesia adalah kurangnya dana, kemampuan dan teknologi yang diperlukan untuk mengembangkan sektor nikel, ujar Lin Che Wei, pendiri firma peneliti di Indonesia, Independent Research and Advisory Indonesia.

Tantangan lainnya adalah ancaman kerusakan lingkungan, yang berarti pabrik logam nikel harus tidak memiliki dampak negatif terhadap komunitas lokal dan hutan di Kalimantan.(Angga/Rizal)

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU