Indostrategic: Elektabilitas KH Said Aqil Kalah dengan KH Marzuki Mustamar

author Seno

- Pewarta

Jumat, 08 Okt 2021 06:59 WIB

Indostrategic: Elektabilitas KH Said Aqil Kalah dengan KH Marzuki Mustamar

i

images (89)

Optika, Jakarta - Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) merilis survei calon Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pada posisi pertama muncul nama Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, sementara petahana KH Said Aqil pada posisi ketiga.

Survei ini dilakukan pada 23 Maret-5 April 2021. Basis sampel adalah 1.200 responden, dengan margin of error 3 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Sebanyak 30,2 persen total responden berasal dari segmen masyarakat yang merasa memiliki kedekatan dengan NU.

Berikut ini hasil survei itu:

1. KH Marzuki Mustamar (Ketua PWNU Jawa Timur) 24,7 persen

2. KH Hasan Mutawakkil Alallah 22,2 persen

3. KH Said Aqil Siroj 14,8 persen

4. KH Bahaudin Nursalim atau Gus Baha 12,4 persen

5. KH Yahya Cholil Staquf 3,7 persen

6. KH Marsyudi Syuhud 1,2 persen

7. KH Ahmad Fahrur Rozi Burhan 1,2 persen

8. KH Ali Maschan Moesa 1,2 persen

9. Tidak Tahu/ Tidak Jawab 18,5 persen

Direktur Eksekutif Indostrategic Khoirul Umam mengatakan temuan survei itu memang memiliki sejumlah catatan. Dari hasil crossed-tabulasi asal responden, kata Umam, angka-angka dukungan warga nahdliyin terhadap nama-nama tokoh dalam survei ini dipengaruhi oleh lebih terbukanya dukungan warga nahdliyin dari basis wilayah Jawa Timur.

"Sehingga menempatkan dua nama Kiai Senior asal Jawa Timur di dua posisi awal, yakni KH Marzuki Mustamar dan KH Hasan Mutawakil Alallah," kata Umam dalam keterangan tertulis, Kamis (7/10/2021).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Umam mengatakan nama Said Aqil Siroj masih termasuk populer. Usulan nama Said Aqil juga disebut merata.

"Di sisi lain, nama KH Said Aqil Siroj memang termasuk masih populer dan usulan nama beliau muncul secara merata dari berbagai wilayah. Namun di sisi lain, munculnya nama-nama baru dengan dukungan warga nahdliyin yang memadai di bursa ini, juga bisa dipengaruhi oleh kuatnya aspirasi regenerasi kepemimpinan, untuk menghadirkan warna NU yang lebih fresh dan dinamis," katanya.

Adapun munculnya nama Gus Baha, kiai muda asal Rembang, kata Umam, menunjukkan menguatnya ekspektasi warga nahdliyin terhadap pemberian peran kepada para Kiai Muda. Dia mengatakan kehadiran Gus Baha berkomitmen serius terhadap upaya penguatan tradisi intelektual pesantren yang belakangan dinilai sejumlah kalangan mengalami pergeseran metode pembelajaran dan output pendidikan pesantren yang diharapkan.

"Selain itu, media exposure Gus Baha di berbagai channel media sosial belakangan ini juga menambah literasi keilmuan sekaligus popularitas nama Gus Baha di kalangan warga nahdliyin secara general, khususnya Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur," tuturnya.

Meski demikian, Umam mengatakan dinamika dukungan kekuatan politik terhadap nama-nama tersebut juga akan menentukan calon Ketua Umum PBNU potensial. Sebab, ketum dipilih oleh PWNU dan PCNU pada Muktamar mendatang.Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina itu menilai PBNU di bawah kepemimpinan Kiai Said memang menunjukkan watak yang moderat. Akan tetapi, kepemimpinan Said Akil juga berimbas semakin lekatnya PBNU kepada kerja-kerja politik praktis.

"Terlebih lagi, ketika kekuasaan saat ini (the ruling power) dihadapkan pada tantangan eksploitasi politik identitas", ujarnya.

Pada situasi itu, Umam menyebut PBNU menjadi kekuatan yang sangat menarik didekati oleh berbagai kepentingan politik. Kondisi itu, lanjut Umam, juga digunakan sebagai kesempatan untuk memperkuat pengaruh PBNU di level politik praktis.

Oleh sebab itu, menurut Umam, peran PBNU sebagai ormas Islam menjadi kurang optimal. Seperti halnya ketidakjelasan sikap PBNU mengenai revisi UU KPK hingga penyelamatan 57 pegawai senior KPK.

"Sikap NU memiliki bobot politik yang sangat besar. Jika sikap PBNU kurang jelas, kondisi itu bisa dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan predatorik, yang jauh-jauh hari terus mencoba melemahkan agenda anti-korupsi, sebagai amanah gerakan reformasi di Indonesia," kata Umam.

Akibat dinamika politik tersebut, Umam mengatakan pandangan warga nahdliyin relatif terbelah. Ada pula yang menilai itu sebagai langkah mundur PBNU.

"Ada yang menilai langkah itu positif untuk meningkatkan daya tawar PBNU, tapi di sisi lain ada yang menilai hal itu sebagai langkah mundur PBNU yang kian tidak sesuai dengan prinsip Khittah NU 1926," pungkasnya. (Zal)

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU