Indikator Politik: Basis Massa PKB, PAN dan Golkar Tolak Penundaan Pemilu 2024

author Seno

- Pewarta

Sabtu, 05 Mar 2022 21:37 WIB

Indikator Politik: Basis Massa PKB, PAN dan Golkar Tolak Penundaan Pemilu 2024

i

images - 2022-02-28T153826.805

Optika.id - Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) mengungkapkan hasil survei pemilih atau basis massa partai politik pendukung penundaan pemilu, ternyata menolak penundaan Pemilu 2024. Dalam temuan survei IPI, mayoritas para pemilih PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PAN (Partai Amanat Nasional), dan Partai Golkar menolak penundaan pemilu 2024.

Burhanuddin menjelaskan 69,6 persen pemilih PKB menolak penundaan pemilu. Sedangkan 22,4 persen yang lain menyetujui penundaan pemilu hingga 2027. Burhanuddin mengatakan surveinya dilakukan melalui wawancara telepon.

Baca Juga: Jimly Ungkap MK Bisa Batalkan Pemilu Jika Memang Salah

"Kita cek basis massa masing-masing, orang yang merasa dekat dengan NU meskipun Ketua PBNU-nya bahwa merasa penundaan pemilu itu masuk akal, 71 persen warga NU mengatakan pemilu harus tetap diadakan di tahun 2024, apalagi warga Muhammadiyah lebih tinggi lagi," kata Burhanuddin Muhtadi seperti dikutip Optika.id dari webinar yang diselenggarakan Masyarakat Ilmu Pemerintah Indonesia (MIPI), Sabtu (5/3/2022).

"Coba kita cek basis partai, kita punya pertanyaan pemilu legislatif 2019 kemarin milih partai mana, 9,7 persen responden kami memilih PKB, hampir 70 persen pemilih PKB sendiri juga tidak setuju dengan klaim ketua umumnya, Cak Muhaimin," imbuhnya.

Begitupun dengan pemilih PAN, tercatat ada 81,9 persen yang menolak penundaan pemilu. Menurut Burhanuddin, temuan ini cukup luar biasa.

"Pemilih PAN ini luar biasa, bahkan aspirasi penundaan pemilu seperti yang disuarakan oleh Pak Zulkifli Hasan hanya direspons positif 13 persen oleh basis massa mereka," ucapnya.

Senada dengan PKB dan PAN, pemilih Partai Golkar pun mayoritas tak setuju penundaan pemilu berdasarkan survei IPI. Namun Burhanuddin tak menjelaskan secara rinci metode survei ini.

"Kemudian Golkar 57 persen pemilihnya mengatakan sebaiknya pemilu diadakan di 2024, dan hanya sedikit, minoritas, memilih ditunda hingga 2027," lanjutnya.

Menurut Burhanuddin, apa pun isu yang ditawarkan kepada masyarakat, itu tidak populer bahkan dari partai pendukungnya. Mayoritas masyarakat Indonesia tetap setuju pemilu sesuai dengan jadwal.

"Intinya, kalau di sini semua alasan tadi, mau alasan pandemi, mau alasan pemulihan ekonomi, mau alasan pembangunan IKN, itu tiga-tiganya tidak mampu mengalihkan atau mengubah sikap responden dan ide perpanjangan tadi ditolak secara multipartisan," imbuhnya.

Dari hasil survei tersebut, Burhan mengaku pihaknya mempertanyakan sikap para ketua umum dari partai-partai tersebut. Sebab, mayoritas pendukung ketiga partai itu justru menolak usulan penundaan.

Jadi over all yang ingin kami sampaikan adalah isu penundaan pemilu itu tidak populer. Bahkan di kalangan pendukungnya, tukasnya.

Imbau Publik Tak Turunkan Tensi

Sementara itu, peneliti dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, mengimbau publik tak menurunkan sedikit pun tensi penolakan terhadap wacana penundaan Pemilu 2024. Publik juga dinilai patut 'menghukum' para pihak yang mendukung wacana penundaan pemilu tersebut.

Dia mengingatkan masyarakat agar tak terlena dengan prediksi Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang menyebut wacana penundaan pemilu 'game over'. Bawono menilai sikap Surya Paloh yang seharusnya ditunjukkan oleh elite-elite parpol lain.

"Apa yang dilontarkan Ketua Umum Partai NasDem tersebut tentu memunculkan kelegaan, karena keberlangsungan demokrasi konstitusional di Indonesia dapat terus terjaga. Sikap seperti itu memang harus ditunjukkan oleh partai-partai politik sebagai salah satu pilar penting demokrasi di Indonesia," imbuhnya.

Karena itu Bawono mengimbau publik tak menurunkan tensi penolakan terhadap wacana penundaan pemilu. Menurutnya, tensi penolakan tetap harus membara agar parpol-parpol yang saat ini tak setuju dengan wacana tersebut tak 'masuk angin'.

"Namun demikian, tentu publik, juga komponen bangsa lain penolak wacana penundaan Pemilu 2024, tidak boleh menurunkan tensi tekanan terhadap elite politik terkait wacana tersebut. Hal ini penting untuk menjaga agar partai-partai politik kontra wacana penundaan Pemilu 2024 kelak tidak masuk angin," tuturnya.

Bawono pun menilai publik perlu 'menghukum' para pihak yang menudukung Pemilu 2024 ditunda. Salah satu hukumannya, sebut dia, tidak memilih partai yang mendukung penundaan pemilu.

Baca Juga: Koalisi Atau Oposisi, PKB Masih Tunggu Putusan dari MK

"Publik patut menghukum partai-partai yang melontarkan usul penundaan pemilu atau juga usul penambahan periode masa jabatan presiden," kata Bawono.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dia memberikan solusi agar publik tak memilih para pihak yang mendukung penundaan pemilu. Yakni dengan membuat kampanye.

"Kelompok-kelompok sipil dari gerakan demokrasi dan pegiat pemilu, bisa membuat campaign kepada publik untuk tidak memilih partai-partai politik pendukung penundaan pemilu dan perpanjangan dari periode masa jabatan presiden, misal. Bisa seperti itu. Meskipun nanti mungkin partai-partai pendukung wacana penundaan Pemilu 2024 akan menghentikan manuver politik mereka tetapi hukuman harus tetap diberikan oleh publik," sambung Bawono.

Dia melihat wacana penundaan Pemilu 2024 tak bisa dianggap remeh. Dia menegaskan tak ada satu alasan yang bisa membenarkan wacana penundaan Pemilu 2024.

"Karena memang wacana penundaan pemilu atau pun juga penambahan periode masa jabatan presiden tidak bisa dianggap hal remeh untuk bisa dengan mudah dilontarkan, apapun niat di balik itu. Apakah untuk sekadar test the water atau sekadar mencari sensasi atau popularitas perhatian publik. Alih-alih menjaga keberlangsungan dari demokrasi konstitusional di Indonesia, justru, dengan turut melontarkan hal tersebut, PKB, PAN, Partai Golkar dan PSI berpotensi untuk memberangus demokrasi konstitusional di Indonesia," pungkas peneliti The Habibie Center itu.

Gus Ahad Dapat Informasi Menteri Jokowi Jadi Dalangnya

Usulan penundaan Pemilu 2024 dari sejumlah elite parpol menuai penolakan di masyarakat. Sekretaris MPW DPW PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Jawa Barat Abdul Hadi Wijaya jelas menolak usulan tersebut.

Gus Ahad sapaan akrabnya, mengaku telah memantau perkembangan isu usulan penundaan Pemilu 2024. Dia menilai ada skenario yang dijalankan di balik usulan penundaan itu.

Dia mengaku mendapatkan informasi tentang munculnya nama salah satu menteri kabinet Presiden Joko Widodo yang menjadi dalang mencuatnya usulan penundaan Pemilu 2024.

"Ada informasi menyebut, Zulhas sempat bertemu Menko Marves LBP dan diminta mendukung penundaan Pemilu 2024," kata politisi PKS itu dalam keterangannya, Jumat (4/3/2022).

Baca Juga: Muhammad Iqbal Protes Pramuka Dihapus, Tak Sesuai Visi Misi Indonesia 2045

Meski menolak, Gus Ahad menilai berdasarkan konstelasi politik di tatanan elite dan persentase suaranya, usulan penundaan Pemilu 2024 memungkinkan direalisasikan. Namun, lanjut dia, secara moral tentunya akan sangat sulit diterima masyarakat Indonesia.

"Agar masyarakat tidak terkesan diam, jangan sampai diam ketika ada yang perlu disampaikan. Namun, usahakan tetap dalam koridor demokrasi yang ada. Selain itu, waktunya juga tepat, sekian tahun jelang pemilu, sangat mudah dibaca, ada keinginan dari elit politik. Memang hanya sekian orang, tapi ketika dihitung suara di parlemen mencapai 70 persen lebih. Sehingga, isu dan wacana penundaan sangat mungkin terjadi," ujar Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar itu.

Gus Ahad menegaskan, penundaan Pemilu 2024 tak sejalan dengan keinginan masyarakat. Artinya, ada keenjangan antara keinginan masyarakat dan elite parpol.

"Ini harus dihindari, ditangkal sejak dini. Isu dan wacana penundaan pemilu ini sangat bisa diperdebatkan, karena ini menganggu akal sehat tata hidup kenegaraan. Aturannya sudah jelas, berarti kita harus ganti nih, harus revisi lagi, amandemen," katanya.

Dia meyakini masyarakat menolak usulan tersebut. Usulan penundaan pesta demokrasi lima tahunan itu dinilai kurang tepat di tengah situasi saat ini.

"Kenapa harus menunda pemilu? Aturannya jelas, Undang-Undang kontitusi jelas, kenapa harus diubah-ubah lagi? Apalagi, digulirkan di saat yang tidak tepat seperti sekarang," pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU