INDEF Sebut Subsidi Energi Hanya Jadi Sandera Program Pemerintah

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 14 Nov 2022 20:32 WIB

INDEF Sebut Subsidi Energi Hanya Jadi Sandera Program Pemerintah

i

energyyy

Optika.id - Kebijakan subsidi energi oleh pemerintah hingga kini terus menjadi momok dan persoalan klasik yang tak pernah terurai. Hal tersebut dikatakan oleh Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov.

Abra Talattov, dalam keterangannya mengibaratkan subsidi energi yang dilakukan dari tahun ke tahun serta dari rezim ke rezim seolah-olah hanya menjadi sandera atas kebijakan pemerintah yang tidak pernah berhasil mengendalikan subsidi nasional.

Baca Juga: Kritik Program Makan Siang Gratis: Tidak Realistis dan Rentan Dikorupsi

"Banyak kajian-kajian yang dilakukan bahwa kebijakan pemerintah tidak berhasil sehingga hanya menguras energi dan pikiran para pemangku kepentingan," ujar Abra dalam keterangan tertulis yang diterima Optika.id, Senin (14/11/2022).

Berbagai kebijakan subsidi energi yang diambil oleh pemerintah tersebut justru dinilai membebani ketahanan fiscal pada tahun-tahun mendatang. Apalagi, jika dilihat dari histori kebijakan subsidi energi di tahun-tahun sebelumnya yang mana menjadi concern adalah perihal kompensasi energi.

Kompensasi tersebut bakal susah dikontrol sekalipun termaktub di dalam APBN. Oleh sebab itu, hal tersebut berpotensi menjadi variabel yang akan menambah beban APBN dari tahun ke tahun.

"Meski begitu, patut kita akui skor kita di Asia terkait indeks ketahanan energi secara total masih relatif lebih baik dibandingkan negara lain," jelas Abra.

Persoalan subsidi energy yang besar tersebut menurut Abra tak terlepas dari ketergantungan sektor energi terhadap impor negara. Abra menekankan, dalam hal ini faktor ketergantungan tersebut tak hanya datang dari luar negeri saja melainkan mendapatkan pengaruh dari dalam negeri. Imbasnya, kinerja lifting migas terus menerus menurun dalam beberapa periode belakangan.

Kendati tahun depan diprediksi kinerja produksi atau lifting migas ditargetkan meningkat, Abra pesimis jika produksi bisa mencapai target apabila melihat tren lima tahun belakangan yang cenderung menunjukkan kelesuannya. Di satu sisi, tren deficit migas pada tahun 2021 juga kembali menunjukkan peningkatan.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Melemah di Tahun Pemilu?

"Tahun 2021, defisit kembali meningkat US$12,4 miliar. Padahal sebelumnya, tren defisit kita telah menurun. Artinya, ini menunjukkan implikasi pada peningkatan defisit migas kita," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Abra menyebut, tidak hanya dari sektor migas secara langsung baik dari sisi produksi maupun impor, melainkan ada variable lain yang patut diwaspadai yakni adanya risiko depresiasi rupiah yang masih menjadi tekanan bagi Indonesia.

Menurutnya, kendati pemerintah gigih berasumsi bahwa kurs rupiah terhadap dolar tahun depan berada di ambang batas atasyakni Rp15.200, akan tetapi nyatanya saat ini kurs rupiah mencapai Rp15.600 dengan kondisi cadangan devisa yang ironisnya semakin menyusut.

"Tentu menjadi ancaman serus ketika nilai tukar rupiah terus melemah, kemudian ada tekanan dari kenaikan suku bunga Bank Sentral AS, lalu pada akhirnya berdampak langsung pada tekanan biaya impor ataupun BBM kita di tanah air," pungkas Abra.

Baca Juga: Aplikasi Nanoteknologi pada Sel Surya untuk Keberlanjutan Energi!

Reporter: Uswatun Hasanah

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU