Optika.id, Surabaya – Mural di era kontemporer menjadi hal yang tak terpisahkan saat menyebutkan kata kritik di ruang publik. Menanggapi hal tersebut, Ketua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga (UNAIR), Igak Satrya Wibawa S.Sos., MCA.,Ph.D menyampaikan bahwa mural sudah dikenal menjadi media komunikasi bagi masyarakat. Dalam dimensi seni, tambahnya, wajar bila mural dijadikan sebagai simbol perlawanan, kritik ataupun harapan, dan sah saja bila penempatannya dalam ruang publik agar didengar dan dilihat publik. “Untuk itu agak susah bila kita menghadapkan seni dan aturan, karena dalam seni kadang harus membenturkan keduanya,” ungkapnya kepada Optika, Minggu (22/8/2021).
“Mural adalah salah satu bentuk street art, menjadi media komunikasi yang cukup sering digunakan masyarakat dalam menyampaikan pesan, harapan dan kritik kepada pihak yang punya privilege atau kekuasaan tertentu,” ujarnya.
Mural berbeda dengan graffiti, walaupun sama-sama termasuk seni jalanan. Graffiti menonjolkan ekspresi pelukis secara tersurat, dan kadang sifatnya sangat personal karena hanya berupa tulisan atau simbol yang mewakili entitas tertentu. “Sedangkan mural yang memiliki makna dan pesan lebih dalam, kebanyakan ditempatkan di ruang publik dengan tujuan dilihat banyak orang,” jelas pengajar mata kuliah Visual Culture & Creative Arts di departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UNAIR tersebut.