Hasyim: Romantisme ABRI Orba, Tanggapi KSAD Dudung Bakal Berlakukan Sistem Soeharto terhadap Radikalisme

author optika

- Pewarta

Selasa, 23 Nov 2021 15:30 WIB

Hasyim: Romantisme ABRI Orba, Tanggapi KSAD Dudung Bakal Berlakukan Sistem Soeharto terhadap Radikalisme

i

Untitled-2

Optika.id. Jakarta. Jenderal TNI-AD, Dudung Abdurachman, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menyatakan akan memberlakukan sistem seperti jaman Presiden Soeharto dulu terkait dengan radikalisme.

Dudung mengatakan bahwa kalau ada informasi-informasi, dia akan berlakukan seperti zaman Pak Soeharto dulu, jaman Orde Baru.

Baca Juga: Revolusi Hijau di Jawa, Ketika Pertanian di Modernisasi

Para Babinsa (Bintara Pembina Desa) itu harus tahu, jarum jatuh pun dia harus tahu," kata Dudung Senin, 22/11/2021.

"Saya akan perintahkan seluruh prajurit peka terhadap perkembangan situasi menyangkut ekstrem kiri dan kanan," kata Dudung. Secara khusus Dudung menyatakan bahwa utamanya kepada kelompok-kelompok yang mencoba melakukan tindakan radikalisme, katanya. Dudung bakal memerintahkan seluruh prajurit TNI AD turun tangan terkait radikalisme tersebut.

"Jadi, kalau ada organisasi yang coba mengganggu persatuan dan kesatuan, jangan banyak diskusi, jangan terlalu banyak berpikir tetapi lakukan," ucapnya.

Selain itu, Dudung mengatakan agar TNI segera berkoordinasi dengan pihak kepolisian jika menemukan kelompok-kelompok yang hendak mengganggu tersebut.

Babinsa Orde Baru

Menurut pengamat politik Mochamad Nurhasyim, SIP, MSi, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pernyataan Jenderal Dudung dinilai sebagai upaya menghidupkan kembali model pengawasan melekat pada masyarakat melalui konsep Babinsa ala Orde Baru, tulis Nurhasyim kepada Optika.id, Selasa 23/11/2021 melalui WhatsApp.

Itu bukanlah cita-cita reformasi. TNI yang dulu Bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) telah dikoreksi oleh gerakan reformasi, urai Hasyim (sapaan Nurhasyim).

Lebih lanjut Hasyim mengatakan bahwa penafsiran ABRI terhadap keadaan saat itu cenderung berlebihan.

ABRI saat itu diberikan diskresi untuk bertindak terhadap suatu keadaan. Tafsir itu sebenarnya telah diubah, dan TNI lebih difokuskan pada ancaman dari luar (eksternal), tutur Hasyim. Menurut Hasyim sejak Undang Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI maka TNI berfungsi sebagai Lembaga Pertahanan. Bukan Pertahanan dan Keamanan seperti jaman Orde Baru.

Menurut Hasyim konsensus bersama setelah reformasi itu harus dijaga. Undang Undang No 34 Tahun 2004 telah memberikan perintah agar TNI tidak lagi berfungsi secara berlebihan, apalagi bisa menafsir ancaman dalam negeri dalam perspektifnya sendiri.

TNI tidak memiliki fungsi untuk menafsirkan bahwa masyarakat adalah sumber ancaman sehingga harus mengembalikan model lama ala Soeharto, dengan konsep Bintara Pembina Desa (Babinsa), kata Hasyim lebih detil.

UU No 34 Tahun 2004 Mengatur Fungsi TNI

Diakui oleh Hasyim bahwa TNI dijaman Orde Baru bisa menangani semua persoalan Keamanan termasuk keamanan dan ketertiban dalam negeri.

Itu sudah direvisi. Siapapun pimpinan TNI saat ini harus tunduk atas konsensus politik tersebut, ujar Hasyim yang jebolan S1 Fisip Universitas Airlangga itu.

Hasyim berharap agar KSAD mengikuti perintah Undang Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 5 menyebut, sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, katanya

Undang Undang TNI itu mengatur semua Angkatan. Semua anggota TNI bertindak atas dasar Undang Undang TNI dan politik negara. Keputusan politik negara menjadi koridor bagi Panglima TNI (termasuk KSAD), kata Hasyim.

Baca Juga: Tak Hanya Covid-19, Ini Penanganan Penyakit Menular dari Soekarno Hingga Soeharto

DPR Harus Lakukan Pengawasan

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berkait dengan peran DPR (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), Hasyim berharap Komisi I DPR menjalankan fungsi pengawasannya kepada Presiden, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI, untuk mengingatkan agar TNI tidak Kembali berpolitik praktis dan menjadi alat politik Presiden seperti era Orde Baru.

Problemnya ada kesan para penguasa saat ini ingin mengembalikan romantisme cara-cara ABRI di era Orde Baru, urainya lebih lanjut.

Hasyim berharap Presiden dan Komisi I DPR meluruskan langkah-langkah TNI tidak balik seperti Orba dulu. TNI diharapkan semakin professional di idang pertahanan, ujar penulis buku Adaptasi Sistem Pemilu Paralel bagi Indonesia.

Kemunduran Demokrasi

Menurut Wawan Sobari, pengamat politik dari Fisip Universitas Brawijaya, konteks jaman Orba tidak bisa disamakan dg konteks era reformasi. Faktor pembeda ada pada demokrasi.

Zaman orba pemerintah bisa menerapkan pasal subversif tanpa protes berarti dari rakyat karena hak-hak politik, kebebasan sipil dan institusi demokrasi belum kuat, di bawah penguasaan ABRI, Birokrasi Golkar, kata Sobari lewat WhatsApp kepada Optika.id, Selasa 23/11/2021.

Lebih lanjut Sobari menyatakan bahwa konteks setelah reformasi berbeda, karena demokrasi lebih kuat (hak politik, kebebasan sipil dan lembaga demokrasi).

Pemerintah beserta TNI perlu hati-hati agar cara-cara Orde baru seperti menerapkan cara-cara menjaga stabilitas jaman Orde Baru, berarti kemunduran demokrasi, urai dosen yang rajin melakukan penelitian tentang demokrasi ini.

Baca Juga: Larangan Jilbab Masa Orde Baru

Keterlibatan militer dalam kebijakan sipil  akan mereduksi demokrasi. Yang bisa dilakukan adalah mengajak dialog mereka sebagai warganegara, dengan opsi yang jelas tentang NKRI dan Pancasila, simpulan Sobari.

Menurut Prof Kacung Marijan, untuk menanggulangi radikalisme diperlukan pendekatan komprehensif. Radikalisme agar menjadi deradikalisme diperlukan upaya pendekatan komprehensif.

Perlu ada dialog guna mendorong pemikiran dan perilaku ekstrim ke arah moderat. Perlu kehati-hatian jangan sampai kita kembali ke masa lampau, kata Marijan kepada Optika.id lewat WhatsApp, Selasa 23/11/2021.

Marijan lebih lanjut menguraikan bahwa apa yang dikatakan Jenderal Dudung adalah bentuk keprihatinan dan upaya panjang menanggulangi radikalisme. Benar, itu benar-benar kepedulian beliau, jangan sampai masalah radikalisme bisa merusak persatuan bangsa, meskipun tidak otomatis harus dengan jalan militerisme, ujar Marijan yang Wakil Rektor I Universitas Nahdlatul Ulamah Surabaya (UNUSA).

Aribowo

Editor: Amrizal Ananda Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU