Gus Dur di Mata Masyarakat Tionghoa Indonesia

author optika

- Pewarta

Sabtu, 30 Okt 2021 23:44 WIB

Gus Dur di Mata Masyarakat Tionghoa Indonesia

i

Untitled-1

Optika.id, Surabaya - Tulisan ini hasil refleksi dari diskusi sederhana dengan Bapak Gatot Seger Santoso (Ketua Persaudaraan Indonesia-Tionghoa/INTI Jatim) terkait sosok Gus Dur dimata Jama'ah Tionghoa Indonesia.

Menurutnya "Gus Dur bagi masyarakat Tionghoa Indonesia adalah Sosok Pahlawan pembela hak-hak kaum Minoritas di Indonesia".

Baca Juga: Naipaul, Gusdur, dan Bagaimana Barat Memandang Islam?

Masyarakat Tionghoa Indonesia sangat berterimakasih kepada Gus Dur yang telah melepaskan belenggu diskriminasi yang mengikat dan menindas masyarakat Tionghoa selama rezim Orde Baru (ORBA) dibawah Pemerintahan Presiden Soeharto selama kurang lebih 32 tahun.

Rasa hormat dan hutang budi masyarakat Tionghoa kepada Gus Dur dimanifestasikan dengan  bermacam ekspresi budaya maupun sosial-keagamaan.

Seperti khusus umat Khonghucu di Kelenteng Boen Bio Surabaya dengan memasang foto Gus Dur disandingkan  degan Maha Guru Umat Khonghucu Tay Haksu Thjie Tjay Ong di Aula Kebaktian. Sementara di Semarang ada yang dibikinkan papan arwah yang dianggap sebagai Bapak Kaum Tionghoa Indonesia dan setiap ada ritual sembahyang ikut di doakan, selain itu banyak juga masyarakat Tionghoa yang sering mengadakan ziarah ke makam Gus Dur di Jombang Jawa Timur.

Semua penghormatan ini tidak lepas dari wujud laku bhakti yang diajarkan oleh Confucius yg sudah mendarah daging di masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Humanisme Gus Dur

Penghormatan luar biasa masyarakat Tionghoa Indonesia terhadap Gus Dur yang dianggap sebagai Pahlawan Kemanusiaan dan pembebas diskriminasi SARA di Indonesia, hemat penulis merupakan bagian dari wujud manfistasi dari paradigma humanisme Gus Dur.

Apa yang dimaksud dengan humanisme Gus Dur? Menurut As'ad Ali (Wakil Ketua PBNU) dalam buku Syaiful Atif, "Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan", (2020) disebutkan pijakan humanisme Gus Dur berangkat dari tradisi maqashid al-syar'i.

Prinsip humanisme Islam sangat terkait dengan kultur Gus Dur yaitu NU. Dalam kultur ini terdapat ikatan kuat antara Islam dan kebangsaan yang digagas oleh KH. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur (Ketua PP Muhammadiyah) melalui Nahdlatul Wathan (NW). Komunitas yang menjadi cikal bakal NU ini merupakan kursus kebangsaan yang berjalan 7 tahun dengan peserta sekitar 60 orang. (h.12).

Dari sini Gus Dur mengikuti tradisi pemikiran tersebut yakni kebangsaan perspektif Islam. Sebuah prespektif terkait hubungan tidak didasarkan pada relasi darah, suku, dan kesamaan agama, tetapi berbasis kesamaan misi, visi, nilai, dan perasaan senasib sepenanggungan. Prinsip ini kebangsaan Islam yang kemudian menjadi kultur Indonesia.

Multikulturalisme Selaras Tradisi Fiqih

Kultur ini merujuk pada penghormatan terhadap multikulturalisme yang sudah inheren di Indonesia yang tidak terjadi di dunia Arab. Sehingga kondisi ini dijadikan oleh KH. Wahab Hasbullah sebagai model dakwah Islam yang menghargai multikultur dengan tidak larut dalam kultur melainkan kultur tersebut diadopsi sebagai wadah yang memuat subtansi 'aqidah dan syari'ah.

Hal ini selaras dengan tradisi fiqih yang memilah antara fiqh Al hukm dan fiqh al-da'wah. Jadi, hukumnya tidak berubah, meski dalam prakteknya terdapat kelenturan (fleksibel) sesuai dengan kebijaksanaan setempat sehingga tidak terjadi benturan budaya (clash of culture). Kerangka pemikiran inilah yang mendasari humanisme Gus Dur.(h,12)

Dapat disimpulkan mengutip pendapat As'ad Ali, bahwa konstruksi pemikiran dan sikap humanisme nya Gus Dur terbangun berdasarkan tiga nilai, yaitu: universalisme Islam, kosmopolitanisme Islam, dan pribumisasi Islam.

Baca Juga: Dibalik Obsesi Terhadap Chindo

Universalisme Islam adalah nilai-nilai kemanusiaan di dalam Islam, dalam rangka ditetapkan sebagai tujuan utama syariat (maqashid al-syar'i). Nilai ini terdapat dalam perlindungan atas lima hak dasar manusia (kulliyat al-khams) yaitu perlindungan atas hidup, hak beragama, hak berfikir, hak kepemilikan dan hak berkeluarga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kosmopolitanisme Islam, adalah keterbukaan Islam terhadap keberadaan peradaban lain sejak filsafat Yunani kuno hingga pemikiran Eropa modern. Sifat ini membuat Islam dapat duduk sejajar dengan rasionalitas Barat, dengan titik pijak berbeda.  Yaitu bukan dalam rangka pembaratan (westernisasi) tetapi universalisasi Islam.

Perjumpaan Islam dan kosmopolitanisme Barat lahir gagasan Gus Dur tentang pandangan dunia Islam yang dibangun dengan tiga nilai yaitu: Syura (demokrasi), 'adalah (keadilan) dan musawah (persamaan). Ketiga nilai ini secara intrinsik merupakan tradisi Islam dan juga Barat.

Berpijak dari universalisme Islam maka ketiga nilai di atas diperjuangkan dalam rangka perwujudan kemaslahatan manusia. Dengan cara ini Gus Dur menggunakan kaidah tasharruf al imam ala ra'iyyah manuthun bil al mashlahah (Kebijakan seorang pemimpin tergantung dari kemaslahatan rakyat) sebagai prinsip operasionalnya. Artinya standar dari demokrasi, keadilan dan persamaan adalah kemaslahatan rakyat sebagai legitimasi bagi kepemimpinan politik.

Dua Makna Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam sangat terkait dengan lokalitas. Dalam konteks ini pribumisasi Islam memiliki dua makna, yaitu manifestasi ajaran Islam melalui kultur lokal. Dalam konteks ini ajaran Islam yang universal di dakwahkan dengan meminjam budaya lokal.

Dan pribumisasi Islam dimaknai kontekstualisasi Islam. Sebuah upaya Gus Dur mengakomodasi kebutuhan realitas dengan memanfaatkan prosedur keilmuan yang disediakan oleh Nash dan fiqih, sehingga terjadi pengembangan aplikasi nash akibat perkembangan konteks realitas.

Baca Juga: Bawa Nama Gus Dur, Cak Imin Klaim PKB Berhasil Hapus Diskriminasi Warga Tionghoa

Mengutip pandangan As'ad, dengan adanya proses pribumisasi Islam, universalisme Islam di atas kemudian dilokalkan  dalam konteks realitas keindonesiaan. Begitu pula kosmopolitanisme Islam, setiap upaya memodernkan masyarakat tentu harus berpijak pada nilai-nilai kultural dari masyarakat setempat, sehingga pembaharuan yang dilakukan tidak tercerabut dari akar tradisi.

Semoga bangsa Indonesia bersatu dalam berbedaan dengan tetap saling menghormati dan toleransi, Itulah harapan Gus Dur. Amin

Oleh: Dr. Sholikh Al Huda, M.Fil.I (Sekretaris Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya)

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU