Gelar Doktor HC kepada Politisi dan Pebisnis Berpotensi Konflik Kepentingan

author optikaid

- Pewarta

Senin, 18 Okt 2021 05:37 WIB

Gelar Doktor HC kepada Politisi dan Pebisnis Berpotensi Konflik Kepentingan

i

Optika: 2021, modifikasi berbagai bahan

Optika.id. Surabaya. Pemberian gelar Doktor Honoris causa (DR HC) jika diberikan kepada aktor politik dan pebisnis sangat mungkin berpotensi konflik kepentingan dan sarat atas pertimbangan politik, sehingga integritas akademik perguruan tinggi akan jadi taruhannya, demikian komentar Dr. dr Sukodiono, MM, Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, kepada Optika.id, Minggu (17/10/2021) lewat WhatsApp.

Hal itu dikatakan Sukodiono saat mengomentari penolakan sejumlah dosen yang tergabung dalam Aliansi Dosen  UNJ (Universitas Negeri Jakarta) Menolak Pemberian Gelar yang rencananya diberikan kepada Wakil Presiden Maruf Amin dan Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Erick Thohir.

Sebenarnya tak masalah, jika memenuhi syarat yang telah ditentukan. Tetapi kalau pemberian dilakukan punya motif yang cenderung pragmatis atau distruktif. Disitu letak masalahnya, urai rektor yang dokter itu. 

Sebagaimana kita ketahui BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UNJ menolak rencana pemberian gelar DR HC kepada Maruf Amin dan Erick Thohir. Alfian Fadhilah, Ketua BEM UNJ, dalam Instagram tegas menyatakan Menolak pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa pada siapapun yang sedang menjabat di pemerintahan. Pernyataan sikap BEM UNJ itu disampaikan melalui akun media sosial Instagram @bemunj_official pada Jumat (15/10/2021) malam. 

Menuntut Senat UNJ agar tidak merubah peraturan yang ada demi kepentingan yang pragmatis, pernyataan tegas BEM UNJ. BEM UNJ mengajak semua sivitas akademika untuk menjaga marwah universitas dengan tidak melakukan hal-hal yang merusak nilai-nilai sebagai akademisi. 

Sementara itu Aliansi Dosen UNJ juga menyatakan sikap menolak pengajuan kembali gelar kehormatan DR HCkepada  Ma'ruf Amin dan Erick Thohir. Sikap penolakan itu dinyatakan oleh Presidium Aliansi Dosen UNJ, Ubedilah Badrun, pada Selasa (12/10/2021).

Mereka bereaksi tatkala Senat UNJ mengadakan rapat penentuan pada Kamis (14/10/2021) untuk memutuskan pengajuan kembali Ma'ruf Amin dan Erick Thohir mendapatkan gelar kehormatan tersebut. 

Ada 4 alasan Aliansi Dosen (AD) UNJ menolak pemberian gelar itu. Pertama, pemberian gelar DR HCpada tokoh sedang berkuasa dan memegang jabatan publik berpotensi mengancam otonomi perguruan tinggi dan kebebasan akademik. Sebab, bisa merusak moral akademik universitas.

Kedua, usulan pemberian gelar DR HC kepada pejabat negara dianggap AD UNJ hal yang kontraproduktif terhadap upaya memulihkan nama baik institusi UNJ. Sebab sudah beberapa kali UNJ mendapat sorotan negatif atas relasinya dengan sejumlah pejabat karena berkait dengan pemberian gelar tersebut.

Ketiga, Ubedilah menguraikan secara detil pemikirannya Maruf Amin tentang negara perlu dipertanyakan. Selain ide tersebut tidak orisinil karena telah dikemukakan oleh para pemikir klasik sejak abad ke-17 melalui teori kontrak sosial, dalam catatan Ubedilah Ma'ruf Amin juga memiliki catatan khusus dalam isu politik identitas di Jakarta tahun 2017 yang justru bertentangan dengan teori kontrak sosial.

Begitu pula untuk Erick Thohir, AD UNJ tidak menemukan karya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

"Syarat pemberian gelar harus memiliki karya luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemanusiaan dan peradaban," urainya.

Keempat, mekanisme pemberian gelar DR HC di antaranya harus dirapatkan dari Prodi S3 yang terakreditasi A, kemudian dirapatkan Senat Fakultas, dan dibahas di Komisi 3 Senat Universitas, baru kemudian diplenokan Senat Universitas, menurut Ubedilah juga diabaikan.

Staf khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, menyatakan keheranannya atas adanya dosen yang menolak pemberian gelar tersebut. Menurut Sinulingga rencana pemberian gelar kepada Erick itu dating dari UNJ. Bukan dari Erick.

"Yang mau kasi kan UNJ, lalu UNJ yang menolak, Gimana itu?" bantahan Sinulingga atas prakarsa pemberian gelar tersebut dari Erick Thohir pada Kamis (14/10) lewat WhatsApp.

Bukan urusan Erick bila jika UNJ tidak memberi gelar kehormatan. Pihak Erick berada dalam posisi pasif. Sinulingga tidak menanggapi soal Erick tidak punya karya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai syarat pemberian gelar DR HC. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Presiden Soeharto Menolak Pemberian Gelar Dr HC

Ironis memang tatkala melihat sejarah bahwa Presiden Soeharto pernah menolak upaya Universitas Indonesia (UI)memberikan gelar DR HC kepadanya.

Rektor UI, Prof Mahar Mardjono pernah menghadap Presiden Soeharto untuk meminta kesediaannya mendapat gelar DR HC. Saat itu masa periode pertama Pembangunan Lima Tahun (Pelita I). Pada  hari rabu 30 Juli 1975 Mahar Mardjono, mereka menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha.  

Mahar Mardjono menyampaikan  hasil pertemuan para dekan di lingkungan UI yang memutuskan untuk menganugerahkan gelar Doktor HC kepada Presiden Soeharto. Anugerah serupa juga akan diberikan kepada mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Permohonan Mahar Mardjono itu ditolak dengan halus oleh Presiden Soeharto.

Tokoh yang disudutkan sebagai presiden otoriter yang berkuasa selama 32 tahun tidak mau menerima gelar DR HC sedangkan banyak tokoh atau politisi pasca reformasi berlomba-lomba mencari gelar kehormatan DR HC dan bahkan Profesor HC. Gelar itu dipakai terus dan secara resmi digunakan sebagai bagian dari status sosialnya yang dianggap penting. Lebih memprihatinkan lagi, ada gejala justru perguruan tinggi (PT) yang berinisiatif mengusulkan gelar DR Hc atau Profesor HC itu. Minimal ada semacam ksepakatan aneh antara PT dan politisi tersebut.

Sejak pasca reformasi berbagai PT memberikan gelar DR HC. Mulai dari PT ternama dan besar sampai dengan PT keagamaan dengan sedikit pemberitaan. Bahkan mereka ada kesan berlomba-lomba memberikan gelar: pimpinan PT berusaha mendekati para politisi dan simpul-simpul kekuasaan.

Bau material dan kuasa sangat terasa. Pimpinan PT dan politisi itu transformasi kuasa. PT ingin kekuasaannya di kampus langgeng dan bahkan ingin mencapai sesuatu, meskipun realitanya tak pernah terjadi, tulis Dr Abdul Aziz dari Universitas Brawijaya (UB) kepada Optika.id, Senin (18/10/2021) lewat WhatsApp.

Ada banyak kasus kompensasi material pun tak jelas diberikan ke PT itu. Yang jelas, semakin kuat saat ini PT menjadi bagian dari hegemoni negara, tegas dosen Fisip UB itu. 

Khusus kasus UNJ dikatakan oleh Dr Wawan Sobari, dari Fisip UB, banyak muatan politis daripada akademisnya.

Aliansi Dosen UNJ faham sekali hal itu. Di situ kontroversial pemberian gelar itu bermula, urai dosen yang rajin menelitih ini.

Akibat muatan politis itulah maka kontroversial pemberian gelar itu terus muncul. Kita lihat grafis di bawah ini.

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU