Dominasi Wacana Kapitalis dalam Ribut-ribut Tes PCR Sebagai Syarat Penerbangan

author Seno

- Pewarta

Kamis, 28 Okt 2021 20:11 WIB

Dominasi Wacana Kapitalis dalam Ribut-ribut Tes PCR Sebagai Syarat Penerbangan

i

images - 2021-10-28T131027.000

Optika - Sejak pertengahan oktober 2021, media massa di Indonesia ribut memperbincangkan isu PCR sebagai salah satu syarat wajib penerbangan dalam wilayah Jawa dan Bali mulai berlaku 24 oktober 2021. Keributan ini dipicu oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri (inmendagri) nomor 53 tahun 2021 tentang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 3, level 2 dan level 1 corona virus disesase 2019 di wilayah Jawa dan Bali yang dikeluarkan pada tanggal 18 oktober 2021 lalu.

Ribut-ribut ini semakin memanas karena belum lama berselang pemerintah telah melonggarkan aturan persyaratan penerbangan udara dimana bagi mereka yang telah melakukan vaksin kedua tidak wajib mengantongi hasil negatif PCR tetapi hanya menunjukan hasil negatif antigen.

Meskipun demikian, perdebatan yang berkembang terkait isu ini sangat terbatas yaitu berpusat pada harga tes PCR yang jauh lebih mahal dari tes antigen yaitu mulai dari 490 sampai jutaan rupiah bagi mereka yang membutuhkan dengan segera.

Harga PCR Ditetapkan Rp 275 ribu

Sebagai respons dari ribut-ribut ini, pemerintah akhirnya menetapkan harga tes PCR sebesar Rp 275 ribu untuk wilayah jawa dan Bali serta 300 untuk luar Jawa dan Bali dan mendesak para penyedia tes PCR untuk menyesuaikan dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Meskipun demikian, isu harga ini tidak berhenti di sini. Banyak pihak masih menilai harga ini masih cukup tinggi. Mereka mendesak agar harga ini dapat diturunkan sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Yang lain mendesak agar tes PCR digantikan hanya dengan tes antigen sebagaimana dalam aturan yang berlaku terakhir. Pertanyannya mengapa ribut-ribut tes PCR ini cenderung berpusat pada harga?

Terjebak dalam Wacana Kapitalis

Di hampir seluruh media massa, isu terkait harga tes PCR menjadi inti perbincangan utama. Para aktor di luar industri medis, menilai bahwa harga tes PCR sebesar 490 masih tinggi. Ini kemudian dapat berdampak negatif pada usaha mereka. Industri parawisata dan perhotelan misalnya mengeluhkan bahwa tingginya harga test PCR ini akan membatasi wisatawan yang merupakan sumber utama pendapatan mereka. Begitu juga dengan industri pesawat terbang. Bahkan Kadin sendiri mendesak pemerintah untuk me-review kembali kebijakan ini karena keuntungan terpusat pada industri medis terutama bagi mereka yang menyediakan tes PCR ini dan dapat berdampak negatif pada banyak industri-industri lai yang ada di Indonesia

Berbeda dengan industri lain, industri medis menilai harga minimal 490 sudah sangat murah. Pasalnya mereka tidak hanya perlu mengeluarkan biaya untuk reagen tetapi juga biaya untuk para tenaga medis, perlengkapan pelindung diri dan lain-lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berada dalam dua wacana dominan ini, pemerintah mengambil jalan tengah. Pemerintah mendesak para penyedia untuk menetapkan harga sekitar sebesar 300 ribu. Pemerintah tetap mempertahankan adanya tes ini dengan alasan bahwa tes ini penting untuk mencegah persebaran Covid-19. Apalagi adanya wacana gelombang ketiga penyebaran Covid-19.

Di luar persoalan harga sebagimana yang disebutkan di atas, sebenarnya terdapat banyak persoalan lain yang juga dikemukakan sejumlah pihak terkait kebijakan pemerintah ini tetapi tidak menjadi wacana dominan dan cenderung diabaikan oleh pemerintah. Misalnya wacana mengapa hanya pesawat terbang yang mewajibkan tes PCR ini dan tidak diterapkan juga pada mode transportasi lain seperti bis dan kereta api? Bagaimana dengan orang luar Jawa dan Bali yang pilihannya menggunakan pesawat terbang atau menggunakan kapal laut yang waktu perjalannya membutuhkan waktu yang sangat lama? Bagaimana dengan daerah-daerah yang mana tidak terdapat tes PCR ini dan haru menunggu dalam waktu lama untuk memperoleh hasilnya?

Maekipun demikian wacana lain di luar isu harga tersebut sampai saat ini tidak terlalu mendapat perhatian pemerintah.

Mengapa isu lain kemudian tidak ramai diperbincangkan bahkan pemerintah cenderung mengabaikan isu tersebut? Satu yang pasti bahwa sejak kebijakan pemerintah ini cenderung lebih besar dipengaruhi oleh wacana kapitalis daripada wacana dari kelompok-kelompok lain. Sebenarnya kecenderungan ini sudah terlihat sejak awal pandemi Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia. Hampir seluruh kebijakan dalam menghapi pandemi Covid-19 cenderung lebih besar dipengaruhi oleh wacana kapitalis baik kapitalis medis maupun kapialis di luar medis.

Oleh: Adam A. Bahar

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU