Disorientasi Kampus Indonesia?

author optikaid

- Pewarta

Selasa, 07 Des 2021 15:41 WIB

Disorientasi Kampus Indonesia?

i

Disorientasi Kampus Indonesia?

[caption id="attachment_9445" align="alignnone" width="165"] Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]

Riset Universitas Oxford belum lama ini menemukan bahwa yang membunuh banyak manusia bukan penyakit menular semacam Covid-19, tapi justru penyakit tidak menular seperti obesitas, stroke, jantung koroner, diabetes, gagal ginjal dan kanker. Penyebabnya adalah gaya hidup yg pasif secara fisik dan mental serta diet yang buruk. 

Di Indonesia, penyebab gaya hidup yg phisically inactive di kalangan warga muda adalah motor, dan medsos. Di Greater Surabaya saja, hampir 1500 motor baru setiap hari membanjiri jalanan. Sebagian besar bermerk asing. 

Bonus Demografis Terancam Motor

Perlu dicermati bahwa bonus demografi kita terancam secara laten oleh motor, dan medsos. Kelas menengah bawah berusia muda bahkan belia semakin menunjukkan gejala kecanduan motor dan medsos. Keduanya menurunkan aktifitas fisik dan mental warga muda hingga tingkat terendah selama pandemi menjadi alasan pembatasan mobilitas. 

Kedua perkakas itu telah menjadi instrumen terpenting budaya konsumtif bangsa ini. Bonus demografi juga terancam langsung oleh learning loss akibat penutupan sekolah dan kampus gagal direspons oleh keluarga dengan menggeser paradigma bersekolah ke paradigma belajar dan berguru. 

Mahasiswa Mati, Dosen Sibuk Daring

Belum lama ini terdengar kabar bahwa ada mahasiswa di kampus universitas negeri di Malang mati bunuh diri. Pembatasan mobilitas, kecanduan motor dan medsos telah menyebabkan aktifitas fisik dan mental anak2 muda makin rendah. 

Sementara itu, banyak dosen sibuk menyelesaikan silabus secara daring tanpa interaksi bermakna dengan mahasiswa2nya. Persekolahan telah terbukti gagal melahirkan lulusan yang mandiri belajar, mentally mature, bergaya hidup sehat dan produktif. Banyak kampus dibuat sekedar untuk menampung lulusan semacam ini. Akibatnya banyak kampus gagal fokus pada knowledge creation and innovation serta pengabdian masyarakat. 

Kita harus mengubah strategi menghadapi pandemi ini. Karantina wilayah boleh, tapi pembatasan mobilitas lokal tidak perlu. Sekolah dan kampus perlu segera dibuka kembali agar aktifitas fisik dan mental bisa dipertahankan bahkan dinaikkan. Pada saat yang sama, perlu dilakukan gerakan mengurangi motor dan medsos serta diet buruk. Perbanyak bersepeda, jalan kaki dan aktifitas luar ruang di pagi hari untuk menghentikan gejala defisit vitamin D yang luas dan kronis. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kampus dan sekolah perlu menyediakan menu tambahan seperti ikan laut, buah dan sayur. Ekonomi lokal harus tetap tumbuh untuk mempertahankan aktifitas fisik dan mental yang cukup agar imunitas tubuh terjaga. Model pembatasan mobilitas lokal hanya untuk menekan penularan terbukti tidak tepat karena justru menyebabkan defisit imunitas nasional. Kita perlu strategi baru yang lebih berfokus pada peningkatan imunitas. 

Semua orang cepat atau lambat akan tertular virus tapi dengan imunitas yang baik, ia akan merespon dengan gejala ringan, cepat sembuh dan sehat serta produktif. 

Fenomena mahasiswa yang emotionally incompetent lalu bunuh diri, seperti penyimpangan perilaku seksual marak yg tidak dilaporkan, adalah fenomena tip of an iceberg. Permendikbud no 30 yang sedang ramai dibicarakan sudah jelas makin tidak relevan dengan persoalan besar yg telah merundung dunia kampus. Kita mesti segera bangun dari mimpi tidur  seolah dunia pendidikan kita baik-baik saja. 

Dunia pendidikan kita saat ini mengalami disorientasi yang makin berbahaya. Internet dan pandemi telah membuat disorientasi itu makin parah. Jangan sampai kita kelak terkejut karena saat terbangun kita menemukan bonus itu jadi tagihan demografi. 

Penulis : Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU