Demokrasi Telah Mati, dan Kita Telah Membunuhnya !

author optikaid

- Pewarta

Senin, 25 Okt 2021 12:40 WIB

Demokrasi Telah Mati, dan Kita Telah Membunuhnya !

i

Demokrasi Telah Mati, dan Kita Telah Membunuhnya !

Optika - Demokrasi telah mati, dan kita telah membunuhnya. Demokrasi yang sederhananya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat bolehlah dipahat di batu kali dan dimasukkan ke museum saja jadi pajangan sebagai pengingat kalau kita pernah naif. Saya tahu, saya bukanlah satu-satunya orang yang pesimis dengan model demokrasi Indonesia.

Tidak semua orang bisa dipilih jadi pemimpin dalam negara demokrasi. Orang-orang yang kita pilih untuk mewakili kita, baik di parlemen maupun sebagai presiden, adalah orang-orang dengan kelebihan modal dan backing politik yang berasal dari kelompok itu-itu saja. Sementara, kita yang tak memiliki modal dan backing politik kuat dari kelompok-kelompok yang itu-itu saja, tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk dipilih.

Baca Juga: Isu Rohingya Tak Cukup Laku Buat Jadi Komoditas Politik?

Masalah memilih pun tak kalah peliknya. Kita diberikan banyak alternatif kebebasan memilih wakil rakyat yang bisa kita pilih dalam demokrasi. Kebebasan memilih yang diberikan demokrasi pada kita seperti kata Marcuse, hanyalah menjadi alat dominasi, dalam artian apa yang kita kehendaki telah dipilihkan kepada kita. Marcuse menunjukkan fenomena ini sebagai toleransi represif, artinya suatu toleransi yang memberikan kesan seakan-akan menyajikan kebebasan seluas-luasnya, padahal maksudnya tidak lain daripada menindas saja. Kebebasan dan demokrasi telah kehilangan arti kritisnya.

Rakyat hanya dilihat sebagai komoditas suara oleh partai. Aktivitas seperti pemilu kadang tak ada bedanya seperti ajang idol-idolan pencarian bakat. Mereka yang mendapatkan suara terbanyak adalah mereka yang populer dan telah dipoles sedemikian rupa oleh partai, manajer politik, media massa, dan modal. Dari sini kita bisa melihat, kontrol dan kuasa masyarakat biasanya diraih oleh golongan masyarakat yang memiliki posisi ekonomi terkuat.

Seorang gila dan filsuf paruh waktu yang memiliki kumis layaknya Pak Raden, Friedrich Nietzsche, pernah berkata kegilaan itu hal yang tidak wajar, tetapi dalam bernegara itulah aturannya misalnya saja, seperti yang kita tahu papa Setya Novanto yang sudah sehat segar bugar wal afiat dan bisa lolos dari jerat KPK itu, melaporkan anak-anak meme yang mengejeknya di media sosial. Bagi kita, lolosnya papa Setnov dari jerat hukum adalah hal yang tak wajar dan kegilaan, tetapi dalam bernegara itu wajar saja. Jadi, jangan naif berharap keadilan pada negara.

Sedihnya, kita tidak bisa memilih orang-orang dengan nalar kritis yang masih terjaga dengan baik untuk mewakilkan suara kita agar kejadian hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah tak terulang kembali. Nalar-nalar kritis biasanya akan dihasilkan oleh mereka yang sadar berada dalam kondisi tertindas atau berasal dari golongan yang termarginalkan. Pilihan-pilihan dalam pemilu, baik dalam tataran legislatif maupun presiden telah dipilihkan oleh elit partai kepada kita.

Pertanyaannya, masihkah kita akan memercayai suara kita diwakilkan oleh orang-orang yang telah dipilihkan elit partai, semacam papa Setnov, yang nalar kritisnya sedang molor?

Dari kegilaan-kegilaan masif dan terstruktur itu, Rukun Tetangga (RT) bisa menjadi oase kewarasan kita. Mungkin hanya dalam bentuk rukun tetangga cita-cita luhur demokrasi yang kita museumkan itu bisa tercapai. Semua warga yang mampu secara fisik dan akal bisa menjadi ketua RT dan jarang terjadi ketua RT berkuasa selama 32 tahun. Jarang juga terjadi anak pak RT menjadi ketua RT selanjutnya.

Yang sering terjadi, warga yang dipilih secara musyawarah kadang tak mau menjabat menjadi ketua RT. Warga masih memiliki kesadaran jika jabatan RT adalah amanat. Warga-warga yang memilih pun menggunakan akal sehatnya untuk memilih ketua RT mereka.

Baca Juga: Efek Bumerang Pada Citra Prabowo dari Gemoy Hingga Emosional

Yang pasti, tidak seperti memilih caleg ataupun presiden, pemilihan ketua RT seringkali dengan musyawarah yang melibatkan akal sehat dan warga juga memiliki kesempatan berdialektika dalam musyawarah. Tentu kesempatan berdialektika dan berargumen tidak akan ada saat pemilu presiden dengan model popular vote itu dan seringkali pilihan presiden kita telah ditentukan oleh elit partai-partai politik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketua RT juga bisa dipastikan tidak mesti orang terkaya di RT-nya. Tak terlalu berlebihan juga jika kita mengatakan RT sebagai bentuk ruang publik yang setara tetapi mesti diakui: kurang sempurna. Semua orang bebas menyatakan aspirasi politisnya dalam pertemuan-pertemuan warga tanpa terdistraksi oleh kepentingan modal. Namun, ia tetap kurang sempurna karena terkadang perempuan tak dilibatkan.

Tidak seperti negara, warga dalam komunitas terkecil seperti RT akan merasakan sense of belonging pada komunitasnya. Warga biasanya lebih berfokus membangun dan memperbaiki komunitas yang mereka miliki. Mengingatkan ketua RT yang abai pun tak perlu berbelit-belit. Cukup dengan rasan-rasan dan teguran langsung biasanya si ketua RT akan menyadari kesalahannya atau minimal merasa malu. Warga tak akan diburu oleh ketua RT mereka sendiri.

Kalau negara? Bersiaplah dengan gugatan kata pasif Proudhon pada negara: ketika kita membangkang, melontarkan pengaduan pertama, kita pun ditindas, didenda, diremehkan, diusik, diburu, disiksa, dipukuli, dilucuti, dicekik, dipenjara, dihakimi, dihukum, ditembak, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati.

Baca Juga: Mengukur Peluang Partai Berbasis Profesi Lolos ke Parlemen

Makanya, lebih baik manut sama negara!

Reporter: Uswatun Hasanah

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU