Optika – Demokrasi telah mati, dan kita telah membunuhnya. Demokrasi yang sederhananya “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” bolehlah dipahat di batu kali dan dimasukkan ke museum saja jadi pajangan sebagai pengingat kalau kita pernah naif. Saya tahu, saya bukanlah satu-satunya orang yang pesimis dengan model demokrasi Indonesia.
Tidak semua orang bisa dipilih jadi pemimpin dalam negara demokrasi. Orang-orang yang kita pilih untuk mewakili kita, baik di parlemen maupun sebagai presiden, adalah orang-orang dengan kelebihan modal dan backing politik yang berasal dari kelompok itu-itu saja. Sementara, kita yang tak memiliki modal dan backing politik kuat dari kelompok-kelompok yang itu-itu saja, tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk dipilih.
Masalah memilih pun tak kalah peliknya. Kita diberikan banyak alternatif kebebasan memilih wakil rakyat yang bisa kita pilih dalam demokrasi. Kebebasan memilih yang diberikan demokrasi pada kita seperti kata Marcuse, hanyalah menjadi alat dominasi, dalam artian apa yang kita kehendaki telah dipilihkan kepada kita. Marcuse menunjukkan fenomena ini sebagai “toleransi represif”, artinya suatu toleransi yang memberikan kesan seakan-akan menyajikan kebebasan seluas-luasnya, padahal maksudnya tidak lain daripada menindas saja. Kebebasan dan demokrasi telah kehilangan arti kritisnya.