Apapun Keyakinannya, Tempat Ibadahnya Adalah Bangunan Suci

author Seno

- Pewarta

Rabu, 22 Des 2021 04:12 WIB

Apapun Keyakinannya, Tempat Ibadahnya Adalah Bangunan Suci

i

FB_IMG_1640085403113

Optika.id - Sore itu, Minggu (19/12/2021) langit di atas Giri Kedaton, Gresik, kembali cerah setelah turun hujan lebat yang sesaat. Sapuan cahaya mentari sore pun muncul dan merajut prisma yang menakjubkan, tidak kalah dari indahnya cahaya aurora borealis di dekat kutub utara.

Dari ketinggian Bukit Giri, dataran rendah Gresik serta selat Madura terlihat bagai lukisan alam yang telah berusia berabad-abad. Tak heran jika di kawasan dataran tinggi Giri, di era modern sudah mulai menjelma menjadi kawasan hunian elit berikut kafe-kafe yang menjadi kegemaran kaum milenial. Tradisi ngopi di Gresik kian tersaji ala milenial.

Baca Juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Di era tradisional, klasik, pada abad 15, dataran tinggi Giri juga sudah menarik perhatian petinggi setempat sehingga dipilihlah sebagai pusat pemerintahan. Adalah Sunan Giri, salah seorang Wali Songo, yang menjadikan tempat ini sebagai pusat pengajaran Islam dan pusat pemerintahan.

Sunan Giri, sebelumnya dikenal dengan nama Raden Paku, putera dari Maulana Ishak yang tidak lain adalah saudara Syeh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Menurut sejarawan Gresik, Eko Jarwanto, awal bermukimnya Raden Paku di Bukit Giri ini tidak lain setelah Raden Paku diwasiati oleh ayahnya (maulana ishak) dengan diberikan segenggam tanah. Isinya adalah pesan: apabila mendirikan pesantren maka jenis tanahnya harus sama/cocok dengan tanah yang diwasiatkan.

[caption id="attachment_11006" align="alignnone" width="300"] Ita Sutojoyo, salah seorang pemerhati sejarah. (Nanang for Optika)[/caption]

Singkat cerita, Raden Paku menemukan lahan yang tanahnya cocok dengan wasiat ayahnya. Maka disanalah ia membangun pesantren dan manata umat (umaroh). Tempat itu adalah di bukit Giri. Seiring dengan perjalanan waktu, terbentuklah pranata sosial dan budaya di bukit Giri. Selanjutnya tempat ini disebut Kedaton ing Giri atau Giri Kedaton.

Literasi Wikipedia menyebut bahwa kedaton yang juga disebut Kedatuan adalah suatu istilah yang merujuk kepada konsep monarki (kerajaan) atau kesatuan politik, yang berasal dari fase terakhir masa prasejarah, kemudian terbawa serta ke masa Hindu Budha yang digunakan untuk mengorganisasikan suatu wilayah dan untuk menegakkan kekuasaannya. Catatan tertulis awal yang menyebut kadatuan (Kedaton) berasal dari prasasti abad ke-7 dari kerajaan Seiwijaya.

Sementara itu di Gresik, Kedaton Giri atau Giri Kedaton adalah sebuah kedatuan Islam yang eksis pada abad ke-15 hingga ke-17, sampai Giri ditaklukkan oleh Kesultanan Mataram pada tahun 1636.

Dari ketinggian Giri Kedaton, secara fisik wilayah teritorial pemerintahannya dapat dipantau. Di ketinggian Giri, konsentrasi perhatian baik untuk menjalankan roda pemerintahan maupun mengajarkan ilmu keagamaan dapat terfokus secara maksimal.

Maka tidaklah mengherankan jika di puncak bukit Giri ini tersisa peninggalan arkeologis dari era Kedatuan Giri, yang sebagian orang menduga bahwa di tempat ini pernah ada bangunan suci. Struktur bekas bangunan itu masih bisa dilihat di Giri Kedaton dan bentuknya memang seperti struktur kontruksi percandian. Ada konsep tata ruang dan bangunan berundak seperti halnya yang terdapat di lereng lereng Gunung Penanggungan.

Arsitektur Bangunan Suci

Memperhatikan struktur dan kontruksi kuno di Giri Kedaton, maka muncullah kesan terhadap lingkungan yang merupakan perpaduan sifat: Islam dan Hindu. Artinya ada pihak yang mengatakan bahwa Giri Kedaton memiliki sifat Hindu dan ada pula pihak yang mengatakan bahwa tempat ini bersifat Islami.

[caption id="attachment_11005" align="alignnone" width="300"] Makam kuno di utara masjid yang jadi penanda peradaban manusia di eranya. (Nanang for Optika)[/caption]

Baca Juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat

Eko Jarwanto mengatakan bahwa pada era Raden Paku (Sunan Giri) di abad 15 atau bahkan di abad abad sebelumnya, para pemeluk keyakinan yang berbeda beda masih belum memiliki orientasi arsitektur bangunan untuk tempat ibadahnya. Misalnya seperti apa bangunan suci untuk agama Hindu. Begitu pula, seperti apa bangunan suci untuk agama Islam, dan lain-lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kala itu pembangunan tempat suci (tempat ibadah) mengikuti tren arsitektur yang ada di zamannya, maka setiap bangunan suci yang ada bercorak mirip atau sama. Misalnya material bangunan yang digunakan memakai batuan andesit. Lalu arsitektur bangunan, seperti pada gapura, dimodel paduraksa dan lain lain.

Contoh yang nyata misalnya Masjid Demak memiliki gaya arsitektur Hindu. Bentuk atap masjid dibuat dengan model meru atau atap tiga berundak. Jadi, orientasi pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda beda kala itu belum memiliki orientasi arsitektur untuk mengekspresikan bentuk tempat sucinya.

Berbeda dengan persepsi orang sekarang, dimana sebuah tempat suci sudah terekspresikan dengan sifat sifat agamanya dan keyakinannya. Sehingga setiap agama dan keyakinan memiliki bentuk dan arsitektur yang berbeda beda. Misalnya agama A memiliki model arsitekturnya seperti ini. Agama B memiliki model arsitektur seperti itu. Begitu pula agama C, maka model arsitektur bangunan sucinya seperti itu dan ini.

Itu semua adalah pandangan orang sekarang yang sudah terpecah dalam memandang identitas keyakinannya. Hal itu mungkin berbeda dengan pandangan orang dulu, nenenk moyang, yang masih sama dalam memandang sebuah bangunan suci. Ringkasnya, apapun agamanya dan keyakinannya, arsitekturnya satu.

Emile Leushuis, pegiat heritage Indonesia asal Belanda, sepakat dengan pendapat sejarawan Gresik itu. Mereka dalam membuat bangunan suci (tempat ibadah), belum memiliki orientasi arsitektur yang berbeda. Mereka hanya memandang bahwa bangunan yang didirikan adalah tempat suci untuk beribadah, kata Emile.

Baca Juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Hal yang serupa sebelumnya bisa dianalogikan dengan ketika kali pertama bangsa Eropa (VOC) masuk ke Surabaya atau bahkan Jakarta. Ketika membangun hunian atau rumah, mereka belum memiliki orientasi arsitektur. Akhirnya rumah rumah yang dibangun mengikuti model rumah rumah setempat yang sudah ada sebelumnya. Bedanya adalah pada pilihan bahan bangunan. Jika rumah warga pribumi terbuat dari kayu, maka rumah orang Eropa terbuat dari struktur batu bata. Jika rumah warga pribumi kecil, maka rumah warga Eropa berukuran besar. Dimensinya berbeda, modelnya serupa.

Pun demikian dengan tempat-tempat yang diketahui memiliki bangunan suci, misalnya di Giri Kedaton. Bisa jadi, tempat suci itu adalah tempat beribadah agama Islam, tapi rumah ibadahnya ber-arsitektur Hindu mulai dari arsitektur-nya hingga pilihan bahannya.

Jika memang seperti itu, maka itulah bentuk kearifan lokal para leluhur. Mereka bisa melebur dalam satu kultur. Mereka belum tersekat sekat sekat dan terkotak kotak atas alasan identitas. Itulah ekspresi Berbhinneka tetapi Tetap Satu, bukan Berbhinneka yang Beraneka.

Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya)

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU