
Penundaan Pemilu 2024. Tiga kata yang akhir-akhir ini santer diberitakan baik di dunia maya maupun dunia nyata. Isu penundaan ini diserukan oleh Muhaimim Iskandar selaku Ketua Umum PKB dengan alasan kinerja pemerintah belum maksimal dikarenakan adanya pandemi Covid-19 dan keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pemilu, yang didukung oleh tiga ketua umum dari partai lainnya, yaitu Airlangga Hartanto dari Golkar, Zulkifli Hasan dari PAN, dan Suharso Monoarfa dari PPP. Pernyataan yang tiba-tiba dilontarkan oleh empat ketua umum partai besar inilah yang kemudian menggiring opini dan menyebabkan publik, dalam hal ini adalah masyarakat umum menjadi bertanya-tanya, apakah ada aktor dari elite politik yang mendalangi pernyataan tersebut? Karena pernyataan yang dilontarkan hanya berasal dari segelintir orang, bukan pernyataan populer atau mayoritas dari masyarakat. Tidak hanya masyarakat umum, kalangan politikus pun banyak yang memperdebatkan isu penundaan pemilu 2024. Isu penundaan pemilu ini berkembang sejalan dengan isu perpanjangan masa jabatan presiden.
Tentunya wacana penundaan tersebut bertentangan dengan konstituti yang ada. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dengan jelas menyebutkan dua pasal yang kemudian dijadikan dasar atas pernyataan tersebut, yakni Pasal 7 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” dan Pasal 22E ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Terlebih tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang menyatakan pemilu boleh ditunda pada saat situasi tertentu (genting), contohnya ketika pandemi. Melansir dari optika.id, merujuk pada pendapat Andi Mallarangeng yang mengatakan jika sudah ada rancangan untuk menunda pemilu dengan atau tanpa amandemen konstitusi, sebenarnya UUD 1945 tidak harus diamandemen, Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan pasal dalam UUD boleh menafsirkan, apakah pasal tersebut memperbolehkan penundaan pemilu pada situasi pandemi seperti sekarang ini? Namun bisa juga diamandemen sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 37, walaupun memerlukan proses yang lama. Bukannya efektif, jika amandemen dilakukan, dananya akan terbuang hanya untuk rapat.